#ngemilbaca Tambora

#ngemilbaca Tambora


Kayaknya novel Tambora ini agak telat rilisnya. Sebab peringatan dua abad meletusnya Tambora sebenarnya tanggal 10 April 2015 kemarin, tapi sayangnya novel ini baru terbit Juli ini. Sehingga pastinya momen yang mestinya bisa dimanfaatkan itu jadi kelewat. Iya kan?


Sebagaimana aku langsung relate dengan novel Titik Balik aku sempat merasa  relate juga  di awal-awal membaca novel ini  sebab sang profesor di sana ternyata juga ditinggal mati istrinya. Itu tahun ketujuh, persis aku kan ya? Hehe.

Dan perjalanan dalam novel ini dimulai ketika anak profesor itu menemukan sesuatu dalam museum ayahnya.

Berikut ini blurp novelnya:

Penemuan tengkorak kepala manusia dan kopiah emas menyeret langkah Lesly dan Jeff menuju Indonesia. Dua artefak tersebut dibawa Profesor Thomas, ayah Lesly, ke Amerika setelah ia menemukannya pada ekspedisi penggalian tanah di sekitar Tambora, gunung suci di Pulau Sumbawa yang meledak tahun 1815 dan mengubur tiga kesultanan di sana. Ketika Lesly memasang kopiah emas pada tengkorak tersebut, sosok misterius muncul di tengah cahaya kemilau dan berpesan kepadanya agar benda-benda itu dipulangkan ke tempat asalnya.
Dalam perjalanan menuju Tambora, ditemani Uma dan Wayan, mobil yang membawa mereka dari Bali mogok dan hujan lebat datang tiba-tiba. Sosok misterius itu muncul lagi, memandu mereka membelusuk lorong waktu menuju tahun 1815. Tanah Sumbawa membuka pintunya dan mengizinkan empat orang itu menjadi saksi meletusnya Tambora dan rahasia-rahasia yang menyelimutinya. Penderitaan rakyat Sumbawa di tengah kebun kopi yang subur, kekejaman Penjajah Belanda, dan perang saudara, terpampang nyata di hadapan mereka.
Novel ini mencoba menyatukan keping-keping kisah di seputar meletusnya Tambora yang mengguncang dunia dua ratus tahun silam, sebuah peristiwa alam mahadahsyat yang menggegerkan dunia.
———————————————-
Ukuran : 13,5 x 20 Cm
Halaman : 352 hlm. (Bookpaper)
Cover : SC, doft, spot uv. 
Penerbit: Exchange 
ISBN : 978-602-72024-8-1
Harga : Rp 65.000,-

Gaya tuturnya sih sederhana saja, lugas, jarang ada metaforanya. Namun kita bisa mengikuti perjalanan mereka ini karena ditulis dengan mengalir. Memadukan antara fiksi dan sejarah Tambora, dengan gaya imajiner menjelajah waktu, novel ini sepertinya hendak menyampaikan kepada kita cerita-cerita di masa lalu yang sering kita lewatkan. Karena umumnya kita jarang suka bacaan non fiksi terutama sejarah, kecuali tentu saja orang-orang tertentu. 
Khas terbitan Dolphin ya, yang memang suka menyajikan sejarah dalam bentuk bacaan novel sehingga terkesan lebih ringan, popular dan merakyat alias membumi. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi