.Maestro Eksistensialis


.Maestro Eksistensialis

Mengikuti jejaknya pak Budi Darma yang kalau mengisi pelatihan nulis bukannya memberi tips-tips dan teknik langsung, tetapi dengan cara memberikan cerita dan kisah para penulis kenamaan, maka demikianlah catatan-catatan ini akan hadir.

Dan karena  pak Ahmad Tohari pernah khusus berpesan padaku agar aku terus menulis novel eksistensialis, maka dalam kesempatan pertama ini yuk kita tilik perjalanan sang maestro eksistensialis. Satre..


Penulis dan filsuf eksistensialis itu usianya cukup melambung, mencapai 75 tahun (1905-1980). Novel “Muak“ (Der Ekel), yang lebih menyerupai catatan harian, adalah novel perdana Sartre yang ditulis tahun 1938. Isinya menyeret pembaca pada hiruk pikuk kehidupan borjuis yang kotor, kadang Sartre membubuhkan waktu atau hari di awal tulisan. Karya perdana biasanya sering berbentuk biografi. Sartre pun menceritakan tentang dirinya sendiri dengan bentuk “Aku-Pencerita.“ Mungkin lebih mudah bagi penulis pemula menceritakan dirinya. Setelah itu ia mulai menuliskan karya dari cerita orang lain atau lingkungannya. Buku ini mengingatkan saya pada “Buku Harian“ Anne Frank atau buku harian pada umumnya.
Awalnya Sartre sedikit saja tertarik politik. Apalagi ketika ia belajar di Berlin tahun 1933 tak pernah mempelajari politik. Melainkan ia mendalami karya Martin Heiddegger “Ada dan Waktu“ (Sein und Zeit) serta fenomenologi dari Edmund Husserl. Perkenalanannya dengan Simone de Beauvoir saat masih belajar filsafat tahun 1929 di Perancis telah tegas memisahkan antara filsafat dan politik. Sartre pernah mengajak kawin pasangan tetapnya ini, akan tetapi ditolak. Alasan Simone, tali perkawinan akan membuat tirani baru.
 Pada saat perang dunia II, Sartre hidup bergaya “Bohemian“ dan merasa terkoyak jiwanya. Apalagi setelah ia ditahan oleh Jerman. Ia mulai berpikir akan menjadi pemberontak. Di tengah pergolakan politik Eropa ia masih menyelesaikan buku gemuknya setebal 1156 halaman berjudul “Ada dan Tiada“ (Sein und das Nichts). Tak lama lagi ia selesaikan trilogi novelnya berjudul “Jalan Menuju Kebebasan“ (Die Wege der Freiheit). Dilanjutkan dengan karya dramanya berjudul “Lalat“ (Die Fliegen). Drama ini yang membawa kesuksesannya pertama kali di dunia panggung. Kemudian Sartre disibukkan dengan politik paska Nazi Jerman. Tema kebebasan dan tekanan menjadi titik sentralnya. Ia menulis karya berikutnya“Eksistensialisme adalah sebuah Humanisme“ (Der Existenzialismus ist ein Humanismus). Ia maksudkan, manusia terlempar ke dunia dapat dan harus mengurus dirinya sendiri. Sejak ia berkenalan dengan marxisme ada perubahan pikiran baru yakni, kebebasan individu dalam eksistensialisme itu harus diarahkan untuk kepentingan massa. Dan revolusi adalah satu-satunya cara menuju keadilan.
 Jejak Sartre selanjutnya mendirikan koran “Les Temps Modernes." Sebuah media yang melangsir pemikiran-pemikiran Sartre dengan berbagai polemiknya. Usai Perang Dunia II ia tak mau tahu lagi dengan filsafat Perancis tentang kebebasan. Ia lebih suka dekat dengan anak muda dan menjadi pelopor gerakan. Berbagai pergolakan di Indochina, Korea, Vietnam membuat Sartre lebih tertantang untuk mendukung pembebasan atas penindasan. Ia memutuskan untuk aktif di Partai Komunis Perancis. Antara tahun 1962 dan 1965 setiap tahunnya ia diundang ke Rusia untuk membicarakan isu perdamaian dan hubungan penulis Rusia dan Eropa. Pada bukunya “Intelektual sebagai orang Revolusioner“ (Der Intelellektuelle als Revolusionär) menyebutkan, pada usia 25 tahunan itu ideal sebagai intelektual muda, kalau orang sudah mencapai usia 70 tahun, kemana-mana harus dipapah dengan kursi lipat.
Tahun 1964 muncul lagi karyanya berjudul “Kata-Kata“ (Die Wörter). Sartre pada buku ini bernostalgia dengan masa kanak-kanaknya. Pada kumpulan esainya berjudul “Apa itu Sastra?“ (Was ist Literatur?) Sartre dengan tegas memisahkan antara prosa dan puisi. Prosa dianggap sebagai piranti khusus menyuarakan kebenaran, sedang puisi bersanding dengan musik, lukisan dan patung yang menghindari pemakaian bahasa. Sebab itu jurnal “Les Temps Modernes“ sangat sedikit memuat puisi. Terkait dengan buku di atas Adorno menuduh, Sartre telah mendudukkan karya seni berdampingan dengan bangunan panteon yang akan meruntuhkan komoditas budaya. Di antara karya-karya Sartre yang paling menandingi ketebalan novel Dostojewsky, “Bruder Karamasow,“ yakni berjudul “Keluarga Idiot“ (Der Idiot der Familie). Buku dengan ketebalan sekitar 2000 halaman ini berupa analisis terhadap karya dan kehidupan Flaubert.
Sartre Kecil Menulis
 Setelah kematian ayahnya ia diasuh oleh kakek dan nenek serta ibunya. Kakeknya punya perpustakaan pribadi dan banyak karya sastra klasik. Sartre kecil berkutat dengan buku-buku tersebut. Pada usia 10 tahun ia berikrar ingin menjadi penulis. Paman Sartre, Emile menghadiahi mesin ketik kecil untuk Sartre. Tapi Sartre tak menggunakannya. Kemudian Madame Picard membelikan peta dunia, agar Sartre tak salah mempelajari geografi. Ketika Sartre sudah mulai menulis, komentar ibunya Anne-Marie, “…itu lebih baik, setidaknya ia tak membuat gaduh.“ Saat awal-awal bisa menulis ia akui dirinya bukan penulis terkenal, tapi ketika ia menulis seperti kena kram, pensilnya tak bisa berhenti, mengalir terus. Namun sering tak sampai akhir. Dalam benaknya berpikir, untuk apa sebuah cerita harus berakhir, kalau sejak awal sudah kehilangan jejak.
 Sartre pertama kali kagum dengan penulis Jules Verne, utamanya cerita petualangannya. Ia mengakui novelnya berisi cerita yang rumit. Teknik menulis Sartre dengan cara memasukkan semua bahan yang baik maupun yang jelek, dicampur menjadi satu. Lalu di sana-sini ia menyusupkan gagasan orang lain atau sebagai plagiator. Sartre punya kebiasaan tidak mau membaca ulang hasil karyanya. Biasanya tokoh bikinan Sartre seorang pahlawan yang melawan tirani. Ia berpendapat, ketika aku dalam kehidupan riel, aku memimpikan berlatih menulis terus, ketakutanku kalau saja talentaku tak ada gunanya.
Kakeknya bernama Karl menasihati, “…tak cukup hanya punya mata, tapi harus belajar bagaimana menggunakan, seperti Flaubert menganalisis karya Maupassant. Suatu saat Sartre menuju di bawah pohon. Di situ selama dua jam ia menulis khusus tentang pohon. Ia disiplin dalam menulis dan berujar, “Kalau sehari saja aku tidak menulis, lukaku makin menganga, tapi kalau aku menulis ringan, terbakar juga lukaku.“ Sartre suka menyitir ucapan dari Chateaubriand, “Aku sadari, kalau aku hanyalah sebagai mesin pembuat buku.“
Pernah Sartre jatuh sakit dan ketika mulai bisa menulis lagi, ia ingin menulis dengan tema laut dan pegunungan. Tapi tak ada penerbit yang mau menerima. Namun ketika ia menulis pada sebuah koran, banyak orang mencibirnya, bahkan penjual di warung yang membaca tulisannya tidak mau melayani. Nyaris ia sebagai musuh rakyat. Ketika usia makin merangkak, tepatnya di usia 50 tahun, ia menulis buku dan diterbitkan oleh penerbit terkenal Arthene Fayard. Buku itu berhasil dengan gemilang. 10.000 eksemplar habis dalam waktu dua hari. Akibatnya ratusan wartawan mencarinya, tapi ia tak ditemukan. Sartre membaca di koran, kalau dirinya dianggap penulis bertopeng, penyanyi dari Aurillac, penulis lautan. Sartre minggat tak jelas, bahkan penerbitnya juga tak diberi tahu alamatnya yang pasti.
Seluruh karya Sartre kalau dikumpulkan ada 25 buku, 18.000 teks esai, dan 300 ilustrasi gambar. Ia merasa seperti lahir kembali sebagai manusia utuh, berpikir, berbicara, bernyanyi, meledak. Ia merasa hidup ini tidak untuk dinikmati saja, tapi harus diseimbangkan. Lebih esktrem ia menganggap, masa depan lebih riel dari pada masa kini. Bila orang harus mati, maka kebenaran adalah jalan awalnya. Menulis adalah kebiasaannya, pensil ia anggap sebagai pedangnya. Kadang ia juga menyisipkan tulisan lamanya ke dalam bukunya, ia anggap sebagai aksi menyelundupan. Satu hal yang menarik, ia bilang, “Dalam menulis aku harus ada kemajuan, serius dan secara teratur ada kemajuan.“
Sartre merasa malu membaca karya Cervantes “Don Quijote." Sebaliknya ia memahami karya Voltaire, Rousseau yang saat itu memerangi tirani. Orang sering menghubungkan masa kecil Jean Sartre mirip dengan Jean Rousseau. Ia juga kagum dengan Magelan dan Vasco da Gama, Dumas dan Karl May. Pada usia senjanya, ia pikir, sudah tak produktif seperti sebelumnya.
Pada Oktober 1964 ia termasuk dalam daftar calon peraih nobel sastra. Sartre mengirimkan surat kepada lembaga nobel pada 14 Oktober untuk dikeluarkan dari daftar. Alasan Sartre, ia tidak mau dinobatkan sebagai penulis terkenal dari lembaga kebudayaan barat yang akan memisahkan antara budaya barat dan timur. Namun surat itu tidak dibaca oleh panitia nobel. Akhirnya terlanjur diumumkan pada 22 Oktober 1964, tapi tetap saja ia menolaknya. Pada 15 April 1980 ia meninggal di Paris. Kepergian sang maestro eksistensialis itu dihadiri lebih dari 50.000 pelayat. Sampai akhir hayatnya ia tak memiliki rumah, istri dan anak
sumber: web serat kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi