Dengan Internet Berjalan Menembus Batas

Dengan Internet Berjalan Menembus Batas


Aku bersyukur atas semua yang dianugerahkanNya kepadaku. Bersyukur saja tanpa kata tetapi. Karena bahkan keterbatasan-keterbatasan yang seolah menjadi paket dari kehidupan ini sejatinya adalah bagian dari karuniaNya. Seseorang menjadi semakin terasah lalu menemukan kekuatan-kekuatan baru yang bahkan tidak ia sadari sebelumnya

Keterbatasan cakupannya sangatlah luas. Bukan keterbatasan fisik saja yang bisa menghalangi. Namun keterbatasan akses, keterbatasan mobilitas adalah juga keterbatasan yang bisa menjadi alasan bagi seseorang untuk maju dan sukses. Apapun itu, keterbatasan harus dan musti dilalui dan ditembus. Karena dengan berjalan menembus batas saja, kita akan sampai meraih impian dan mewujudkan cita-cita.

Tidak mudah menjalani peran sebagai orangtua tunggal sejak kematian suamiku dalam kecelakaan tiga tahun yang lalu. Apalagi dengan posisi di antara tarik menarik antara ibu kandungku dan ibu mertuaku. Mereka sama-sama menginginkan aku tinggal di rumah mereka bersama anak-anakku.

Setelah melalui banyak pertimbangan dan mendengarkan banyak masukan, akhirnya aku kembali ke rumah ibuku dan terpaksa meninggalkan banyak hal yang kurintis di kota suamiku. Konsultan arsitektur dan PAUD. Untunglah, hubunganku yang baik dengan keluarga mertua membawaku tak berlalu begitu saja. Aku masih memegang manajemen PAUD tersebut meski harus kukerjakan dari 25km, yang meski jaraknya kelihatannya dekat, tetapi sifat protektif ibuku membuatku tak bisa bergerak banyak keluar rumah.
“Tidak perlu berpikir karir dulu,” ujar ibu suatu ketika.
Agak aneh bagiku karena ibuku sendiri wanita karir yang berangkat ke kantor jam setengah enam pagi dan sampai rumah jam setengah enam sore, tetapi memintaku tinggal di rumah saja.
“Konsentrasikan dirimu untuk anak-anakmu,” tandas beliau.
Oh, oke.
Alhasil, aku banyak berdiam di dalam rumah, di depan laptop. Sambil tetap berusaha mencari peluang untuk membuka usaha di rumah, karena aku tetap harus memikirkan masa depan aku dan anak-anakku.
Membuka usaha konsultan arsitek di kota kecil tidak prospektif. Terpikir untuk membuka toko souvenir seperti yang dulu pernah kukerjakan saat masih belum lulus kuliah. Tetapi kini banyak sekali toko sejenis sudah dibuka di sekitar tempat tinggal kami namun konsumennya tidaklah banyak. Tidak mudah.

“Coba hubungi teman-teman ayahmu. Siapa tahu bisa ikut jadi pegawai di kantornya,” saran ibu suatu hari. Ahay! Beliau ternyata mulai terbuka juga pikirannya bahwa aku, mau tidak mau, harus tetap bekerja.
“Kalau kerja ikut orang harus disiplin lho, bu. Pagi –pagi harus sudah berangkat, pulangnya sesuai jadual. Belum lembur-lemburnya. Ibu nggak apa-apa aku akan banyak meninggalkan anak-anak?” aku berusaha memancing reaksi beliau sembari mengingatkannya bahwa menurutnya anak-anakku adalah prioritas utama. Dan utamanya sih aku sejak memiliki kantor konsultan arsitek sendiri dan mengelola PAUD, aku mulai menikmati cara kerja yang bebas, be a boss of my own
Meski tak cocok dengan ibuku dalam banyak hal, seiring kedewasaan dan tempaan kehidupan, aku memilih banyak diam. Meski pandangan kami banyak berbeda tetapi aku menaruh hormat padanya. Beliau banyak mengajarkan padaku kerja keras, kedisiplinan, kesungguhan. Dan meneladankan ketabahan dan kekuatan dengan mengentaskan empat putra-putrinya sendirian sejak ayahku meninggal.
Dan Tuhan ternyata menyayangiku, sungguh. Mungkin karena ada dua anak yatim yang berada di bahuku seorang diri sekarang. Dan mungkin juga ibuku mendoakan aku agar diberikan jalan. DibukakanNya pintu baru bagiku, dunia kepenulisan. Ternyata bakat menulis yang lama terpendam akhirnya muncul lagi seperti intan yang tersembul dari dalam lumpur. Dhul!
Di tengah kesibukan momong dua anakku, enam dan empat tahun, aku menulis dan mengirimkannya ke event-event penulisan via facebook. Tapi dengan sikap ibu yang tidak mendukungku, aku harus mencuri waktu untuk bisa menulis. Malam-malam saat semua orang terlelap, aku sengaja menahan kantuk agar bisa menulis. Ada waktu lumayan panjang juga yang lepas dari pengawasan beliau ketika ibu beraktifitas di kantor. Tetapi dua anakku sering sekali merecoki dan mengganggu.
Jika aku sedang tidak mempunyai kesempatan mencurahkan ideku langsung ke computer atau laptop, aku bergegas menuliskannya dengan pena ke buku yang sudah kusediakan. Khusus untuk menulis seluruh ide-ide yang kadang datang tak diundang, tiba-tiba dan semena-mena. Hehe. Sambil menemani anakku makan atau bermain.
Jika ibu tampak mendekat, aku langsung menyembunyikan buku spesialku itu ke balik sesuatu. Entah kursi, karpet atau barang apapun yang bisa menutupinya dari pandangan ibu. Demikian juga dengan buku yang kubaca karena kita membutuhkan banyak bacaan untuk bisa men-charge dan mengembangkan kemampuan menulis kita.
Termasuk saat menulis dan menyelesaikan novel pertamaku. Mencuri –curi waktu seperti ini rasanya tidak nyaman. Tetapi aku harus menembus batas, tidak ada alasan apapun untuk membiarkan cita-cita terhadang.
Alhamdulillah.
Kemudian buku-buku antologiku lahir. Sehingga tak terasa tujuhbelas buah buku antologiku terbit di berbagai penerbit. Kesuksesan kecil yang kita dapatkan senyata-nyatanya mendorong kita menemukan kesuksesan-kesuksesan berikutnya.
Seiring dengan itu, novel pertamaku selesai setelah hampir lima bulan mengerjakannya duet dengan seorang sahabat. Dia banyak memacuku untuk terus bersemangat meski aku seakan berada di dalam menara gading dan rumah salju. Karena kebekuan komunikasi terutama antara aku dan ibu.

“Keren. Kok bisa sih arsitek jadi penulis,” demikian komentar saudara dan teman-temanku. Meski sebagian teman dekat tak heran karena mereka mungkin telah melihat kiprahku dalam kepenulisan ketika memenangkan beberapa lomba menulis serta menjadi redaksi mading maupun bulletin di sekolah dan di kampus.

Dan Alhamdulillah, keberanian –keberanianku muncul kembali setelah sebelumnya stagnan karena merasa beku di tengah kungkungan dan pingitan ibu. Lucu, bukan? Seharusnya janda seperti aku lebih bebas bergerak dan merdeka, tetapi malah dipingit melebihi masa-masa kegadisanku dulu. Ya, sudahlah.  Aku mengambil hikmahnya saja dari semua ini, pada akhirnya, setelah melalui pemberontakan-pemberontakan kecil dalam pikiran dan hatiku.
Untungnya dunia maya membebaskan kita bergerak ke mana saja, berhubungan dengan siapa saja dan akhirnya meluaskan apa saja. Termasuk pertemuanku dengan partner menulisku. Kami menulis novel Mayasmara bersama. Sebuah novel kebaruan karena konsepnya tak biasa, unik dan berbeda baik dari sudut konsep, ide cerita dan penceritaan. Menulis novel ini banyak menggali kemampuan menulisku.
“Kamu harus menjadi sesuatu. Untuk anak-anakmu,” pacu partner menulisku. Sahabat mayaku inilah yang terus menerus menghembuskan udara keberanian.
“Kamu punya potensi. Kamu punya visi. Dan kamu punya tugas. Ayo kamu bisa,” begitu terus dia mencecar telingaku dengan lecutan-lecutan. Seorang sahabat dengan ketulusan memang bisa membangkitkan tidur kita, menciptakan mimpi-mimpi baru dan membuat kita terjaga. Lalu meniti tangga kesuksesan dengan dukungan tanpa syarat.
Sehingga setelah istikhoroh, aku mengambil loncatan yang tak pernah kukira sebelumnya meski jauh di masa lalu impian ini pernah ada dalam memoriku.
“Hwooooaaaaaa……aku terjun bebas……”
Tulisku ke inbox nya di hari pertama aku mempublish novel kami.
Aku menerbitkan novelku sendiri. Langkah berani yang diambil seorang ibu muda dengan dua anak yang masih suka merajuk. Semua dikerjakan dari balik laptop di dalam kamar. Senang sekali rasanya akhirnya create something tanpa harus meninggalkan anak-anakku. 
Mereka juga  mulai turut menikmati peran baruku ini. Si sulung membuat gambar di kertas-kertas kemudian melipat dan menstaplesnya menjadi sebuah buku. Anak keduaku yang perempuan kadang-kadang bermain peran seolah-olah dia penulis terkenal.
“Mau ditanda tangani?” tanyanya padaku seolah aku penggemar buku-bukunya. Haha..
Bagian yang paling membahagiakan adalah mereka bersenang-senang dan bahagia bersamaku. Aku menikmati berkah ini.

Dan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, kemudian seperti aliran sungai yang menyibakkan payau-payau di permukaannya, beberapa penulis lain mengajukan naskah untuk diterbitkan. Membantu mereka memulai langkah tak hanya membungakan harapan akan kemajuan dari penerbitan yang kurintis tapi juga seperti suatu panggilan jiwaku untuk membuat mereka bertambah semangat di jalan kepenulisan yang kini kutempuh.
Tapi lagi-lagi keterbatasan mobilitas menjadi kendala dalam menyelesaikan tugas-tugas baruku di bidang penerbitan. Aku akhirnya pontang-panting mencari cara bagaimana mencetak buku dengan harga yang terjangkau dan dapat kukerjakan dengan segala keterbatasanku.
Allah maha pemurah dan maha penyayang menunjukkan jalan padaku untuk kembali bertemu dengan mereka yang dulu ‘menjerumuskan’ aku ke dunia kepenulisan ini. Alhamdulillah mereka banyak membantuku, sehingga aku cukup bekerja di depan laptopku saja. Silaturahim, persaudaraan dan kepercayaan juga kerjasama senyata-nyatanya menjadi jalan yang ditunjukkanNya bagiku untuk terus berjalan menembus batas itu.
Tak ada yang tak mungkin. Tak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Meski tentu saja melalui berbagai ikhtiar-ikhtiar dhohir, batin dan juga tawakkal kepadaNya. Sejak dari awal melangkah, selama proses dan perjalanan sampai kadang tiba di titik jenuh.
“Bangunan yang kau kini bangun pun suatu ketika akan runtuh, Fi,” sahabatku mengingatkan. Benar juga pesannya, karena memang tak ada yang abadi di dunia.
“Jadi berbuatlah yang terbaik dimanapun dan apapun yang kau kerjakan,” tuturnya penuh kebijakan. Dia adalah salah satu orang yang selain sahabat baik juga guru bagiku.

Langkah kecil yang dimulai dengan kecintaan dan harapan tampaknya harus dilanjutkan. Meski tidak kecil resiko dan tidak sedikit kendala yang dilalui, juga peranku yang harus berbagi dengan kepengurusan PAUD dan momong anak-anak, bajaku harus terus diasah dan diasah.

“Nanti dimarahin boss-nya umi?”, pertanyaan anakku yang sering muncul jika aku terpaksa meninggalkan mereka untuk sebuah tugas di kantorku dulu, kini tak lagi kurisaukan.
“Tidak, nak. Kita bisa menjadi boss diri kita sendiri,” dalam hati kubisikkan itu padanya. Lebih dari semua itu, kami bahagia.

Ternyata kemampuan selalu seiring dengan tanggung jawabnya. Demikian kakek Peter Parker dalam film Spiderman berpesan, dalam kekuatan yang besar juga terdapat tanggung jawa yang besar. Benar saja, aku tidak bisa lepas begitu saja dari peran dan statusku sebagai arsitek. Teman-teman dan juga kolega masih menghubungiku untuk minta didesainkan rumah tinggal ataupun bangunan lainnya.
Dengan banyaknya beban pekerjaan dan fikiran serta minimnya waktu, aku kembali terkungkung keterbatasan dan mungkin bisa saja memilih excuse, beralasan. Tetapi dosen manajemenku di kampus arsitektur dulu, dosen yang sangat kukagumi, berpesan untuk tidak menolak rejeki. Pastikan bisa mengerjakan segala tugas apapun.

Bagaimana caranya?
Outsourcing. 
Kuterima berbagai order desain itu dan lagi-lagi Allah dengan segala kuasa dan kasihsayangNya, mempertemukan aku dengan arsitek yuniorku. Pertemuan yang telah diatur olehNya.
Teman lamaku membawa temannya ke rumah karena ingin dibuatkan otobiografinya. Temannya temanku ini ternyata mempunyai seorang keponakan perempuan yang juga anak arsitek UNDIP. Obrolan singkat dan terkesan lewat ini terekam dengan baik. Sehingga ketika aku membutuhkan bantuan, kuhubungi temannya temanku untuk menanyakan nomer telpon keponakannya itu. Alhamdulillah, kami cocok dan akhirnya bekerja sama.
Nyata senyata-nyatanya, silaturahim membawa kita berjalan menembus batas. Sebagaimana juga silaturahim dan networking ini yang akhirnya bisa membawa novelku ke beberapa Negara di belahan dunia ini. Selain menyebar di seluruh Indonesia, novel itu juga terbang ke Makkah, Mesir, England dan Hongkong.
Subhanallah. Cita-citaku yang lain adalah travelling ke beberapa Negara dan kalau bisa berkeliling dunia. Dan novel karyaku telah memulai perjalanannya terlebih dahulu. Semoga Allah mengabulkan cita-citaku. Aamiin.
Dia yang mengabulkan semua cita-cita. Dia yang mendengar segala keinginan. Syukur dan puji kepadaNya yang telah memperjalankanku ke Haromain, tanah suci Makkah dan Madinah untuk melaksanakan haji dan umroh beberapa tahun lalu. Dan bahkan dari perjalanan itu, beberapa ide cerita mengalir dalam naskah novel dan cerpen-cerpenku. Dia yang Maha Kaya, yang Maha Memampukan. Sampai kadang terlintas dalam benakku, It’s too good to be true, ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tetapi demikianlah Dia berkehendak, sehingga menjadikan kita semakin tertunduk malu di hadapanNya.
Betapa banyak karuniaNya meski seringkali kita lupa berterimakasih dan lebih banyak mengeluh daripada mengingat. Semua karunia ini yang sedang kukerjakan dalam keterbatasan mobilitasku, menulis dan mengelola penerbitan, mengelola PAUD, memulai lagi konsultan arsitektur, merintis usaha property di kota kecilku, sepatutnya disyukuri dan disyukuri. Bukan gurita, jika semua ini inginnya kukerjakan. Tetapi karena tidak ingin menyia-nyiakan potensi dan kesempatan yang Dia berikan. Semoga semuanya menjadi ajang pembelajaran bagiku untuk bisa menjadi sebesar-besarnya kemanfaatan bagi sesama. Aamiin.

“Bekerja di mana sekarang?” seorang guruku masa SMA bertanya ketika suatu ketika kami bertemu di suatu tempat. Alhamdulillah beliau masih mengenaliku, secara mungkin karena aku pelajar dan lulusan terbaik di SMA masa itu.
“Di rumah, bu,” jawabku sambil tersenyum.
Beliau terdiam. Entahlah apa yang beliau pikirkan. Mungkin masygul karena mendengar seorang murid terbaiknya hanya di rumah saja.
Demikian juga jawabku jika ada yang bertanya dengan pertanyaan yang sama. Lha memang kenyataannya aku belajar di rumah. Jika tidak dikejar dengan pertanyaan berikutnya, aku biasanya juga tidak menjelaskan panjang lebar. Hehe…
Ternyata di rumahpun, dengan segala keterbatasan, kita bisa menembus segala batas. Dengan ijinNya, dengan karuniaNya. Alhamdulillah.

**

Lihatlah dengan internet kita bisa berjalan menembus batas. Apalagi jika pakai freedom combo kayak punya IM3 Ooredo :)


6 komentar:

  1. Mbak... aku salut padamu! Salam sukses selalu ya mbak.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin alhamdulillah. Terima kasih ya. Sukses juga untukmu :)

      Hapus
  2. Mb Dian meski sudah banyak makan asam garam dalam hidup dan kepenulisan tapi tetep down to earth. Salut dan angkat topi untukmu mbak ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin amiin. terima kasih doa dan dukungannya ya Ika :)

      Hapus
  3. Masih banyak yang sulit percaya bahwa bekerja di rumah pun bisa. hehehe....

    BalasHapus

Adbox

@diannafi