3 Musketeers Go To UWRF (bagian 10)

3 Musketeers Go To UWRF (bagian 10)




Dari Ubud kami melanjutkan perjalanan ke Denpasar. Di rumah teman lama kami menginap. Melepas kangen dan saling bertukar cerita. Meski akhirnya nyaman tinggal bertahun-tahun di Denpasar, tetap saja ada keinginan untuk kembali ke Jawa. Demikian antara lain isi curhatannya. Haha.
Setelah melepas lelah semalam, pagi ini kami berkendara menuju Museum di Lapangan Renon Denpasar. Aku sudah mengangankan untuk datang ke lokasi ini sejak membaca bukunya Pramoedya Ananta Tour. Yang menggambarkan bagaimana gagah beraninya rakyat Bali dalam perang Puputan.
Disebut juga sebagau Museum Bajra Sandi. Lokasinya tepat di tengah-tengah lapangan. Museum ini memiliki bangunan dengan ornamen khas Bali dan taman yang sangat indah.

Tempatnya terawat dengan baik dan bersih dan lengkap dengan menara yang menjulang ke angkasa yang mempunyai arsitektur khas Bali yang cantik. Sangat strategis lokasinya. Terletak di depan Kantor Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali yang juga di depan Gedung DPRD Provinsi Bali tepatnya di Lapangan Renon Nitimandala. Tempat ini merupakan tempat pertempuran jaman kemerdekaan antara rakyat Bali melawan pasukan penjajah. Perang ini terkenal dengan sebutan "Perang Puputan" yang berarti perang habis-habisan. Monumen ini didirikan untuk memberi penghormatan pada para pahlawan serta merupakan lambang penghormatan atas perjuangan rakyat Bali.
Di lantai utamanya, kita bisa melihat diorama sejarah keberadaan dan perjuangan masyarakat Bali dari masa ke masa. Sejak jaman purbakala sampai jaman kemerdekaan.



Berhubung dulu di kampus arsitektur sempat belajar teknik presentasi dan fotografi, dengan seadanya gadget yang kupunya, aku mencoba menjepret foto. Dengan menggunakan pintu sebagai frame.
Gimana hasilnya?  (harus banyak belajar lagi ya?!)


Dari Museum Puputan, kami bergerak menuju toko oleh-oleh. Toko swalayan bertajuk Erlangga 2 ini konon termasuk pusat oleh-oleh yang harganya tidak terlalu mahal. Tetapi karena memang bukan musim liburan, jadi tidak terlalu ramai waktu kami datang. Tempatnya nyaman dengan

Berbagai macam pilihan kain, baju dan souvenir lain malah bikin bingung memnilihnya.



**

Temanku mengajak kami ke Danau Kintamani. Bahkan mobilnya saja sudah berjalan kea rah sana. Kupikir dekat saja tadinya jadi aku setuju-setuju saja. Tapi setelah memeriksa lewat GPS, wah kok jauh banget ya.. nggak ah. Aku kuatir anak-anak kecapaian. Mereka kutanyai satu persatu apakah masih mau jalan ke danau, jaraknya sekian kilometer dan sekian jam lagi kira-kira mau sampai. Mereka tidak mau, persis seperti yang kuduga.
Akhirnya kami belok ke tempat wisata yang terdekat. Ke alas kedatonlah mobil melaju. Meski tidak banyak yang bisa kami lihat, tapi kami cukup bersenang-senang.

Dua keluarga kecil ini semua berderet untuk berfoto bersama. Dengan masing-masing memakai mahkota berwarna kuning emas. Wajah anaknya temanku yang kelahiran Bali jadi kayak anak Bali sungguhan lho. Hehe.



Alas Kedaton terletak di desa Kukuh Kecamatan Marga + 4 km dari kota Tabanan. Desa Kukuh terbagi atas 7 dusun dan 12 banjar adat. Sebagian besar warga menggeluti pertanian di mana sebagian besar waktunya digunakan untuk menggeluti sektor lain seperti pertukangan, pegawai atau buruh.
Pura kedaton memiliki empat pintu masuk ke dalam Pura yaitu dari barat yang merupakan pintu masuk utama yang lainnya dari Utara, Timur dan dari Selatan yang ke semuanya menuju ke halaman tengah. Berbeda dengan pura pura lainnya yang ada di Bali. Keunikan yang kedua adalah halaman pura Alas kedaton dalam yang merupakan tempat paling di sucikan berada lebih rendah dari halaman tengah dan luar. Tempat suci pura Alas kedaton ini dikelilingi oleh hutan yang dihuni oleh sekelompok kera yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar Objek wisata Bali ini. di Alas kedaton selain hidup sekelompok kera juga terdapat sekelompok kalong yang hidup bergantungan. (sumber: web)


Bagi yang ingin melakukan sembahyang / pemujaan di pura ini, tidak diperkenankan membawa dupa (api) karena menurut adat setempat, ketiadaan api ini berarti sifat amarah atau hawa nafsu yang telah padam. Pura ini menghadap ke arah barat dan memiliki struktur yang unik serta berbeda dengan struktur pura-pura lain yaitu pada bagian halaman dalam (utamaning mandala) yang merupakan halaman tersuci lebih rendah dari halaman tengah (madyaning mandala). Hari jadi atau piodalan pura ini diselenggarakan setiap 6 bulan sekali (210 hari), yaitu pada hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia. Dalam penyelenggaraan upacaranya dilakukan pada tengah hari dan selesai sebelum matahari terbenam. Selain itu tidak boleh mempergunakan dupa (api), tidak memakai penjor, segehan, dan tabuh rah.
Menurut data arkeologis, pura Alas Kedaton ini dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha semasa pemerintahan raja Sri Masuli, yang memerintah pada tahun 1100 Saka (tahun 1178). Pada saat itu beliau menjabat sebagai salah satu lembaga penasehat kerajaan. Peninggalan arkeologinya terdiri dari peninggalan zaman pra sejarah dan peninggalan setelah pengaruh Hindu. Peninggalan pra sejarah antara lain berupa menhir kecil, yaitu susunan batu kali dan arca primitif. Bukti peninggalan pengaruh Hindu adalah terdapatnya sebuah Lingga Semu dalam sebuah meru yang disebut Dalem Kahyangan, sebuah arca Durgha Mahisasuramardini dan sebuah arca Ganesha di dalam sebuah meru yang disebut Dalem Kedaton. Arca Ganesha yang duduk di atas bantalan yang terdiri dari 2 ekor kuda dan ditafsirkan sebagai sebuah Candra Sengkala yang berbunyi "Dwi Naga Gana Tunggal", yang berarti tahun 1582 Saka (tahun 1760).(sumber: web)


**

Dari Alas Kedaton, kami beranjak pulang. Aku mengingatkan agar rencana mengunjungi kampong muslim ataupun pesantren di Bali, bisa terlaksana. Akhirnya kami sepakati untuk mampir di pesantren Raudhatul huffadz yang terletak di Tabanan.
Sembari parkir mobil, temanku yang dermawan itu membeli buah tangan di Indomaret. Ah, ternyata meski lama tinggal di Denpasar, dia masih ingat tradisi itu. Bahwa tidak elok rasanya kalau sowan ke kyai tanpa membawa i-en alias oleh-oleh.
Pak Kyai Nur pengasuh pesantren ini ternyata berasal dari Demak. Datang ke Tabanan tahun 1975. Dari majlis pengajian kecil yang hanya mengajar dua tiga orang yang tinggal di sekitar rumahnya, sekarang sudah menjadi pesantren dengan ratusan santri mukim. Bahkan memiliki MI, MTS dan MA dengan gedung masing-masing. Subhanallah.
Ternyata beliau ini juga yang berinisiatif mengadakan ziarah wali pitu di Bali. Dengan tujuan agar para wisatawan muslim yang datang ke Bali tidak hanya berwisata pantai dan semacamnya, tetapi juga berdzikir.
Pak Kyai Nur mengisahkan dulu ada utusan dari Sunan Kalijogo memang datang untuk mendakwahi para pelarian dari Majapahit yang tinggal di Bali. Tetapi sudah ada unen-unen, bahwa hanya orang yang berasal dari Demaklah yang akan sanggup tinggal lama dan bersama-sama para penduduk Bali ini. Bagaimana kebenaran legenda atau mitos ini, mungkin bisa dicari tahu lebih dalam. Tapi pak Kyai Nur, Alhamdulillah, sudah menjadi bukti nyata kegigihannya berdakwah dengan tetap bersanding bersama-sama pemeluk kepercayaan yang lain.
Hanya saja menurut pak Nur, sejak adanya bom dan terorisme, kerukunan yang dulu tercipta baik, kini tidak sehangat dulu. Tetap saja ada kewaspadaan oleh aparat dan lainnya jika ada muslim yang bermaksud mendirikan majlis taklim atau bangunan ibadah yang baru di Bali.
Jadi terorisme tidak saja merugikan mereka yang di luar Islam. Mereka bahkan juga merugikan Islam dan umat Islam itu sendiri.

Yang ajib, semua santri di sini tidak membayar alias gratis. Bahkan mereka juga disekolahkan. Jadi seperti  di Tarim Hadrom maut Yaman. Kemudian selulus Aliyah (setingkat SMA) para santri yang hafal Alquran mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas dan Kampus yang sudah ada kerjasama dengan pesantren.


**

Kami memasuki Denpasar sekitar jam lima sore. Langit masih cerah. bahkan hampir maghrib saja, langit Bali masih terang. Kusadari ini sejak kami berada di Ubud kemarin.
Menuju sebuah resto, kendaraan melaju. Kami menikmati makan sore dalam suasana yang akrab. Anak-anak semakin dekat. Mereka menikmati tatanan interior resto yang homy dan hangat.
“Lihat, tanganku jadi banyak,” seru Fatimah sembari kedua tangannya menari-nari.
Menirukan gaya burung terbang. Bayangannya memantul dari cermin yang ada di dinding sisi kanan menuju cermin di kiri resto, dan sebaliknya. Sehingga tangan-tangan itu kemudian menjadi banyak sekali. Kontan saja sang kakak juga dua teman barunya –kedua anak temanku- mengikuti polah tingkah Fatimah. Mereka berbaris seperti penari Bali, lalu menggerak-gerakkan tangannya secara bersama-sama. Bersusun dari bawah ke atas. Sehingga tangan-tangan dalam cermin tampak semakin banyak lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi