Menyulam Asa dari Piring ke Jiwa: Kisah Sang Pencerah Gizi dari Desa

 

Menyulam Asa dari Piring ke Jiwa: Kisah Sang Pencerah Gizi dari Desa





Di sebuah ruang kecil di ujung kampung, aroma masakan sederhana menari bersama cahaya pagi. Di sana, Ayu Fauziyyah Adhimah menata bahan pangan lokal, sayur bening, tempe goreng, dan buah pisang, sambil tersenyum menatap layar laptop yang memuat desain platform edukasi gizi buatannya.
Ia bukan sekadar sedang bekerja, melainkan sedang menanam benih kesadaran di ladang bangsa.

Ayu, penerima SATU Indonesia Awards 2024 dari Astra, bukan tokoh yang tumbuh dari kemewahan. Ia tumbuh dari tanah yang sama dengan banyak perempuan muda di Indonesia  berpeluh di dapur, berdialog dengan kenyataan yang sering kali keras, dan tetap menjaga cahaya kecil dalam dada: keinginan untuk menolong sesama. Dari situ, lahirlah inisiatifnya  platform edukasi gizi berbasis komunitas yang mengajarkan pentingnya nutrisi seimbang, terutama bagi ibu dan anak di daerah pedesaan.

Namun Ayu tahu, gizi bukan hanya soal makan, tetapi soal makna.
Tentang bagaimana sebuah keluarga melihat makanan bukan sekadar pemenuhan perut, melainkan wujud kasih, rasa syukur, dan tanggung jawab pada tubuh yang dititipkan Tuhan.

Melalui platformnya, ia merancang kelas daring dan luring, memadukan ilmu kesehatan dengan budaya lokal, menyapa masyarakat dengan bahasa sederhana, tidak menggurui, tidak menakut-nakuti. Ia lebih memilih mengajak, menginspirasi, dan merawat kesadaran pelan-pelan — seperti seorang ibu yang menuntun anaknya belajar mengenal rasa.

Ayu membangun ekosistem. Ia menggandeng kader posyandu, mahasiswa gizi, dan pelaku UMKM pangan sehat. Ia mengubah dapur menjadi ruang belajar, warung menjadi pusat informasi, dan makanan menjadi sarana pembebasan dari kebodohan gizi.
Dalam kesederhanaan itulah, dampak besar tercipta.

Aku teringat kalimat lama dari seorang guru: “Mendidik itu tidak selalu lewat papan tulis, kadang lewat piring nasi.”
Dan Ayu melakukannya dengan cara yang paling nyata.

Sebagai seseorang yang juga bergulat di dunia sosial, aku kerap merasa lelah melihat betapa banyak program baik berhenti di seminar, tanpa menyentuh akar. Tapi ketika membaca kisah Ayu, aku tersentak. Ia tidak sibuk menunggu fasilitas, tidak menunggu “waktu yang tepat”. Ia hanya memulai — dari yang bisa, dengan yang ada.
Dari kesadaran kecil itulah, ia menunjukkan bahwa perubahan besar selalu lahir dari hati yang sabar dan tekun.

Di tengah riuhnya media sosial yang sering membuat kita lupa makna hidup sederhana, kisah Ayu seolah menjadi jeda lembut. Ia mengingatkan bahwa kemajuan bangsa tidak melulu tentang teknologi tinggi, tapi juga tentang makanan yang bergizi, anak yang tumbuh sehat, dan ibu yang berdaya.
Gizi, bagi Ayu, adalah bentuk cinta yang paling konkret — cinta pada diri sendiri, keluarga, dan masa depan.

Dalam refleksiku, kisah Ayu adalah cermin bagi generasi muda yang sering gelisah mencari arti kontribusi.
Aku jadi bertanya pada diri sendiri: Apakah selama ini aku sudah memberi makna pada pekerjaanku, pada waktu dan tenagaku?
Ataukah aku masih sibuk mengejar validasi, lupa bahwa kebaikan sejati sering bekerja dalam diam?

Melihat Ayu, aku belajar bahwa menjadi “pahlawan masa kini” tidak harus mengenakan jas laboratorium atau memegang mikrofon besar di panggung konferensi. Kadang, cukup dengan sepiring nasi bergizi yang disajikan dengan kasih.
Cukup dengan satu langkah kecil yang diambil hari ini.

Di balik setiap butir beras, setiap helai daun kelor, dan setiap senyum anak yang kenyang, ada cerita perjuangan yang tak kalah heroik dari kisah para penemu besar.
Ayu mengajarkan bahwa keberlanjutan bangsa dimulai dari dapur-dapur rumah — dari kesadaran akan makanan yang sehat, dari cinta yang diolah bersama pengetahuan.

Mungkin, inilah esensi dari semangat SATU Indonesia: sinergi antara cita-cita dan aksi nyata, antara ilmu dan empati.
Ayu Fauziyyah Adhimah telah menenun keduanya dengan indah.

Dan aku, setelah menulis kisahnya ini, merasa tercerahkan.
Bahwa setiap sendok yang kita suapkan bisa menjadi doa;
setiap gerak kecil yang tulus bisa menjadi cahaya.
Dan dari perempuan sederhana seperti Ayu, aku belajar —
bahwa cinta dan kesadaran adalah dua bahan utama gizi kehidupan





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi