Apa yang Eka Kurniawan bicara saat dia bicara sastra



Sebagai penulis, tak jarang saya bertemu seseorang (penulis baru maupun pembaca) yang bertanya: “Apa itu sastra? Apa bedanya sastra dan bukan sastra?” 
Terus-terang saya malas menjawab itu, dan menganggap itu pekerjaan kaum akademisi, bukan penulis seperti saya. Kadang-kadang, saking malasnya, meskipun saya terpaksa menjawab pertanyaan itu, saya hanya akan menjawab: “Di dunia ini hanya ada dua jenis karya. Satu, karya yang saya sukai; dua, karya yang tidak saya sukai.” 
Jawaban itu kadang cukup untuk membuat orang berhenti bertanya, tapi tentu saja tak memadai dan sulit dipertanggungjawabkan. Problem ini terutama sangat terasa di novel. Saya hampir jarang mendengar orang bertanya, puisi tertentu sastra atau bukan? Semua puisi, seolah dengan sendirinya adalah karya sastra, dan para penyair, semuanya sastrawan. Cerita pendek kurang lebih sama. 
Pokok soalnya, tentu karena novel melahirkan begitu banyak genre. Sangat banyak. Begitu banyaknya, bahkan yang disebut novel sastra biasanya tak terlalu terdengar. Di toko buku, mereka hanya menempati ruang kecil yang nyaris tak terlihat. Sebagian besar yang dibaca orang jelas bukan novel sastra. Tapi karena di sekolah mereka hanya mengenal istilah “sastra” (adakah sekolah yang mengajarkan tradisi novel romans, kriminal, kependekaran atau genre lain?), mereka mulai menganggap semua yang mereka baca sebagai sastra. 

Hal ini pada gilirannya, memancing reaksi para sastrawan yang tentu akan (dengan sewot) menganggap karya lain itu sebagai bukan sastra. Lalu muncullah kebingungan, jadi yang mana sastra dan mana bukan sastra? Pokok soal kedua adalah, karena sastra sering dibahas kaum akademisi (di universitas bahkan ada Fakultas Sastra), “sastra” seolah-olah memperoleh kedudukan istimewa. Ia menjadi puncak pencapaian. Tentu saja bagi saya ini juga ngawur. 

Dunia penulisan bukanlah Liga Sepakbola yang memiliki jenjang dari divisi bawah hingga divisi utama. Seseorang yang menulis banyak (atau bertahun-tahun) novel romans tidak serta-merta naik pangkat jadi penulis sastra. Bukan saja karena itu absurd, tapi juga karena sastra tidak berada di atas romans. Bagi saya, itu sesederhana: berbeda. 

Di mana bedanya? Buat saya pribadi, yang paling gampang untuk melihat sesuatu sebagai sastra adalah: karya sastra memiliki kekhasan mengangkat atau mempertanyakan persoalan di dalam dirinya (yakni kesusastraan), eksplisit maupun tidak. Cara lain yang sering saya lakukan, karena latar belakang pendidikan saya, saya lebih suka melihat sastra seperti filsafat. Sangat penting dalam filsafat, ketika seorang filsuf memberikan pemikirannya, ia akan meletakkan pemikiran itu di dalam kerangka (peta) pemikiran-pemikiran filsuf lain. Artinya, sangat tidak masuk akal seseorang menjadi filsuf tanpa memperhitungkan filsuf-filsuf lain. 

Dalam sastra, karena ia mengangkat dan mempertanyakan persoalan di dalam dirinya, juga sangat penting untuk tahu di mana karya-karya sastra dan penulis lain berada. Jangan heran jika mendengar Haruki Murakami berkata, karya-karyanya merupakan upaya untuk mempertemukan Dostoyevsky dan Raymond Chandler, misalnya (Damn, Murakami sangatlah beruntung, karya-karyanya disukai oleh pembaca yang sebagian besar mungkin tak tahu atau tak peduli mengenai Dostoyevsky maupun Chandler dan apa pengaruh mereka terhadap karya-karyanya!). 

Contoh lain, karya-karya Borges sering dianggap sebagai sastra fantasi. Tentu saja berbeda dari para penulis “genre” fantasi, Borges mengolah dan mempertanyakaan kesusastraannya sendiri: apa itu fantasi? Apa yang bisa dilakukan oleh fantasi? Di genre lain hal seperti itu bukan tuntutan utama (mungkin saja ada yang menyerempet, dan dengan itu, ia menyerempet sastra). 

Tentu akan ada yang bilang, jika seperti itu, karya sastra cenderung akan menjadi konsumsi para sastrawan sendiri. Bisa jadi benar dan itu bukan sesuatu yang perlu dikeluhkan! Bukankah genre lain juga memiliki pembaca yang khusus? 

Percayalah, tak ada satu pun genre yang ditujukan untuk semua pembaca. Tentu saja pembahasan sastra dan bukan sastra mestinya lebih panjang dan kompleks dari sekadar tulisan ini (dan itu tugas akademisi!). 

Tapi saya pikir, sangat penting di usia kesusastraan Indonesia yang mulai berumur, untuk memulai tugas pembenahan ini. Tujuannya tentu saja, agar penulis dan pembaca bertanggung jawab terhadap pilihannya. Jika seseorang menulis sastra, ia mesti tahu tanggung jawab pilihannya (dan tak perlu petentengan). Jika seseorang menulis novel genre, ia tak harus sewot tidak dianggap sastra. Saya pikir setiap penulis, apa pun jenis yang ditulisnya, akan dihormati oleh satu-satunya ukuran yang bisa mencakup sastra maupun bukan sastra: kemampuan menulis. 

Agatha Christie merupakan penulis terhormat, sama seperti James Joyce, meskipun mereka menulis di bidang yang berbeda. Kita tak perlu membanding-bandingkan mana yang lebih hebat di antara mereka, seperti tak ada gunanya membandingkan siapa yang lebih hebat di antara Sebastian Vettel (F1) dan Valentino Rossi (MotoGP). Ketiadaan pengetahuan mengenai hal ini akan berakibat buruk, seperti yang selama ini kerap terjadi: banyak penulis yang merasa karyanya (yang susah dibaca, rumit dan melantur) sebagai karya sastra, padahal yang benar seringkali sesederhana ia tak bisa menulis.

by Eka Kurniawan
sumber : blog Eka Kurniawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi