maulid, kasih sayang, malaikat dan maut.

Ia selalu menyukai senandungku meski tak semerdu saudaraku yang lain.Mungkin karena diam-diam sebenarnya ia mulai menaruh hati padaku. Tak mudah menaklukkan hati sekeras miliknya. Entah kenapa, aku tak cukup mengerti. Mungkin ia mengira aku tak cukup punya cinta untuknya, sehingga ia juga menahan cintanya untuk bisa kumiliki sedikit saja. Entahlah.

Ini sebenarnya maulidku yang terakhir, di penghujungnya persis maut menjemputku. Karena banyak orang bilang, aku bukan ‘manusia biasa’. Aku mereka serupakan malaikat sehingga bukan di dunia penuh kebusukan ini tempat yang nyaman untukku. Entahlah. Aku tak pernah tahu. Seperti aku tak pernah mengerti mengapa kadang orang-orang bilang aku terlalu baik, sementara aku menganggapnya biasa-biasa saja.

Airmatanya menetes sehingga membasahi baju anak perempuan dalam gendongannya. Ia selalu teringat aku kala semua orang berdiri dalam posisi ‘asyroqol’. Ini saat-saat magis ketika banyak orang benar-benar merasakan kerinduan yang amat sangat, kerinduan atas kekasih purnama hati, Shollallahu ‘ala sayyidina Muhammad.

Keharuan itu semakin menumpuk dan memenuhi dada hingga mengalirkan deras air matanya, karena saat-saat magis itu beserta ingatannya akanku.

Kucoba menghapus airmatanya, tapi ‘malaikat’ sepertiku dengan jarak tak kentara ini tak cukup membuat gundah gulananya mereda. Ia tak melihatku. Sungguh-sungguh tak melihatku, bahkan juga dalam mimpinya. Dia sedang sibuk. Kerepotan dengan dua permata peninggalanku yang tak henti-hentinya menggoda dan menguji kesabarannya.

Ia membutuhkan kasih sayang. Mereka membutuhkannya.
Dan aku, aku ‘malaikat’ yang telah dijemput maut di ujung bulan maulud, aku tak lagi bisa memberikannya kecuali memandangnya dari jarak yang tak kentara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi