[cerpen lama] KEKI

KEKI
Oleh Dian Nafi

Sebel banget ama kangmas-ku hari ini. tadi malam dia pulang larut sekali, tidak ada penjelasan ketika ditanya kemana, dengan siapa dan ngapain. sebel sebel sebel. pagi ini dia masih ngorok tidur. dan aku sendirian membereskan rumah sambil momong anakku lanang. dalam keadaan hamil pisan, 8 bulan.
Lalu datanglah  dua orang tamu, suami istri. yang aku tahu, yang pria itu bernama Bambang, rekan suamiku dan istrinya cantik sekali, aku baru kenal. Dari mereka aku tahu semalam mereka pergi bersama suamiku jalan-jalan, dengan posisi istri temanku itu duduk di tengah, karena mereka naik mobil box terbuka.
Aku cemburu. Iya! Aku memang aneh, mudah sekali cemburu. Dan bete karena suami kadang tidak cerita pergi kemana, dengan siapa, acara apa, sehingga aku menganggapnya menyimpan sesuatu, yang aku harus curiga dan cemburui.  Aku mencuci piring dengan terus menerus mengomel. Tiba- tiba  adikku laki-laki yang rumahnya sekitar 300 meteran dari rumah kami, pagi itu datang berkunjung. Melihat diriku yang kelihatan sedang tidak waras karena cemburu dan amarah ia langsung membawa anak laki-lakiku yang masih berumur 1 tahun. Belakangan hari aku kemudian tahu kalau adikku pernah trauma karena pernah melihat pertengkaran ayah ibuku selagi ia masih balita. Trauma itulah yang membuatnya bertekad untuk tidak membiarkan anak siapa saja bisa mendengar dan merasakan pertengkaran dan kekalutan orang tuanya. Subhanallah..terimakasih adikku.
Aku memang pencemburu. Dan suka sebel kalo mas Erwin mulai menyebut nama pacarnya dulu. Entahlah Cinta seringkali tidak bisa dipahami dengan baik bagi kebanyakan orang. Seperti kenapa kebanyakan pria, mungkin juga wanita, terpaku dengan cinta pertama yang nyangkut dalam kehidupan mereka. Kehadirannya bagai  hantu yang terus menguntit dan tidak membiarkan tuannya memelihara hantu yang baru  pada saatnya tiba. Hahahag…apa  ya ungkapan yang tepat untuk menggambarkannya.
Pernah beberapa kali ketika bertemu, Tante Mira juga mengeluhkan kenapa suaminya, Oom Prass , sepertinya tidak bisa melepaskan bayang –  bayang pujaan hatinya yang pertama waktu masih kuliah dulu, siapa tuh namanya….Farah, ya Farah.
Dan tentu saja ini agak menjengkelkan bagi Tante. Seharusnya masa lalu adalah masa lalu, yang terbaik bagi seorang pria tentu saja seharusnya istrinya saat ini, seorang.
Untungnya, Farah tidak jelas keberadaannya jadi cukup aman bagi Tante. Setidaknya, oom Prass tidak bisa bertemu lagi dengan Farah. Tapi ketidakberadaan sepenuhnya hati Oom dalam ruang bersama mereka agaknya tetap mengganjal di hati Tante.
Padahal Tante dan oom juga menikah karena suka sama suka. Mereka tidak pula dijodohkan, mereka menemukan sendiri satu sama lain. Mereka bahkan juga saling tergila-gila pada awalnya.
Benarlah,  ketertarikan gila saat pertama cinta ditemukan, memang mudah menyatukan dua pribadi yang sangat berbeda untuk berjanji setia sepanjang hidup. Hanya saja, panjangnya hidup yang dilihat oleh mata yang mabuk cinta, bisa jadi sangat pendek.
Itu sebabnya cinta saja tidak cukup. Persahabatan dan logika yang jernih  antara dua jiwa itulah yang memanjangkan cinta mereka menjadi kebersamaan yang membahagiakan.
Dan agaknya logika jernih ini yang agak dikeruhkan oleh adanya bayang-bayang masa lalu Oom Prass. Saat bertemu Tante, sesungguhnya di hati terdalam oom masih tersimpan nama lain,Farah. Perempuan pertama dalam kehidupan Oom yang membawa pergi keping hati dan cintanya.  Cinta memang absurd. Cinta seringkali membawa luka. Aku  menghindari cinta yang seperti ini. Cinta semestinya membawa kebahagiaan dan melengkapi ruang –ruang jiwa yang kosong, atau mengisinya dengan membiarkan penghuni lamanya pergi, dan bukannya berdesak-desakan dan berebut tempat di dalamnya.
Tapi suamiku melakukannya padaku. Dia seringkali membicarakan Yusnia, pacar pertamanya dulu yang dipacarinya dua belas tahun. Untung Yusnia tidak jelas juga keberadaannya. Tapi ada satu lagi teman SMP mas Erwin, namanya Erni.
Mereka bertemu lagi ketika ada reuni kemarin setelah lebaran. Si centhil itu dulu menggilai suamiku waktu jaman mereka SMP. Tapi karena suamiku polos dan culun waktu itu, si centhil itu dicuekin saja. Sayangnya setelah reuni itu si centhil beraksi kembali dan suamiku agaknya tergoda. Juengkel dan suebel buanget aku jadinya.
Bahkan di depanku, mas Erwin dengan santainya bertelpon ria dengan Erni dengan bahasan yang menyerempet nyerempet jorok. Astaghfirullah. Aku mau meledak. Tapi aku hanya bisa menangis dalam amarah yang tertahan. Astaghfirullah.
“Din. Aku mau kerjasama dengan Erni”, kata mas Erwin suatu pagi.
“Kerjasama apa mas?”aku menahan kuat-kuat kecemburuanku dalam kalimatku yang kubuat selembut dan seramah mungkin.
“Dia kan punya toko material. Jadi nanti dia yang supply  semua kebutuhan material di proyek – proyek kita” , wajah mas Erwin tampak sumringah dan cerah. Mungkin Erni yang membuatnya jadi muda kembali.
“Tidak usah dengan Erni kan bisa, mas” aku berusaha menolak.
“Tapi dengannya, bebas bayar kapan saja. Setuju nggak setuju aku tetap akan jalan”
Meski aku diam, tapi ternyata aku resah juga. Aku mengadukan hal ini kepada kakak perempuan mas Erwin.
“Mbak Fitri kenal Erni, teman SMP  mas Erwin?”, aku membuka percakapan.
“Erni yang ganjen dan kemayu itu maksudnya?”, mbak Fitri ternyata faham siapa yang aku maksud.
“Mas Erwin mau kerjasama dengan dia,mbak. .”, aku melanjutkan dengan hati-hati.
“Ya baguslah. Kenapa memangnya?”, mbak Fitri jadi menyelidik.
“Sebaiknya mereka tidak bekerjasama, mbak. Aku kuatir mas Erwin lama-lama nanti tergoda Erni”, aku merayu mbak Fitri. Berharap dia di pihakku dan nantinya membujuk mas Erwin untuk membatalkan rencananya.
“Setahuku Erni sudah punya suami, Din”, mbak Fitri kelihatannya tidak mendukungku.
Aku mati kutu. Tidak ada yang mendukungku. Ya sudah. Siap – siap makan hati sendiri.
Dan begitulah, mas Erwin dan Erni sering bertemu. Aku tahu itu. Tapi kadang mas Erwin menyembunyikannya.Aku jengkel, aku bete, aku sebel. Dan sikapku yang berlarut – larut ini kelihatannya malah menjauhkanku dari suamiku sendiri.
Hingga kemudian beberapa hari setelah kelahiran anakku yang kedua, Erni datang bersama beberapa teman mas Erwin untuk menjengukku dan bayi baru kami. Ketika berdua saja dengan Erni di dalam kamarku, aku sampaikan saja apa yang aku ingin sampaikan. Tentu saja dengan bahasa yang sehalus mungkin.
“Mbak Erni. Apa kabar. Baik?”, aku menyapanya sehangat mungkin.
“Iya. Alhamdulillah. Selamat ya, ibunya sehat bayinya sehat” Erni sepertinya memendam kepedihan, aku bisa melihat di matanya. Ah, kasihan juga aku kalau menyalahkan dia saja padahal mungkin dia juga memiliki luka mungkin suaminya mengkhianatinya sehingga ia butuh hiburan atau apa. Aku beberapa kali menangkap kemungkinan ini jika mendengar percakapan Erni bersama teman-teman SMPnya termasuk mas Erwin kalau sedang rapat persiapan reuni di rumah kami.
“Mbak Erni yang sabar ya…..”, entahlah tiba-tiba kenapa justru kalimat itu yang meluncur dari mulutku padahal sebelumnya amunisi yang kusiapkan adalah penyerangan dan kemarahan.
“Iya mbak…”,Erni menatap mataku. Kelihatan kalau dia agak heran dengan sikapku mengingat selama ini dia banyak menggoda suamiku, di depanku apalagi mungkin juga di belakangku.
“Maaf ya mbak. Kalau ada tindakan atau ucapan saya yang tidak berkenan”, Erni mengibarkan bendera putih. Aku tersenyum, sepertinya itu cukup. Dia mungkin mulai menyadarinya, meski suaminya berkhianat berselingkuh dengan perempuan lain itu tidak berarti dia bisa merebut suami orang lain untuk menghiburnya. Aku lega. Kami ada pengertian meski tidak secara eksplisit mengungkapkannya.
Sejak itu suamiku tak lagi bertelpon ria dengan Erni Alhamdulillah. Bete-ku mulai hilang dan luntur karena semuanya kembali normal.
Yang agak bikin keki malah kalau aku bertemu dengan mbak Fitri kakak iparku. Dia menggodaku.
“Bagaimana, Din. Ada yang mulai nakal ya?”, tanyanya suatu hari.
“Nggak kok mbak. Semuanya baik-baik saja. Badai pasti berlalu lah…”, aku tersenyum pahit. Agak malu juga sempat jadi pengadu. Hehe…J
Kuingat –ingat dan aku catat besar dan tebal dalam benakku, besok- besok kalau punya masalah dan bete tidak perlu jadi pengadu. Karena kalau semuanya akhirnya beres dan baik-baik saja, bakalan keki sama orang yang kita curhat-in. hehe.. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi