[cerpen lama] amanah

Mulanya slentang slenting suara tak menyenangkan itu luput dari perhatianku. Aku sama sekali tak suka cara ibu-ibu saling mengakrabkan diri mereka dengan menjadikan salah satu atau sekelompok orang yang tidak hadir sebagai santapannya. Namun malam itu aku tak lagi bisa menutup mata dan telinga. Ibuku sendiri yang biasanya cuek dan juga tidak suka menggunjing, tiba-tiba datang padaku dengan keluhan yang sama. Uh oh. Ada apa ini sebenarnya?
“Yang benar saja!” ibu mengawali curhatnya dengan nada tinggi.
“Dulu sekali bu Mahfudz membuat darul aitam sendiri di pavilion belakang rumahnya”
Nhah lhoh, bagus toh? Pikirku. Berarti beliau memikirkan dan menyantuni anak yatim piatu dengan lebih baik karena menyediakan huniannya sekaligus, dan jelas makan tiga kali sehari,  sekolah juga kasih sayang serta lain-lainnya. Kok ini malah diprotes? Aku hanya membatin rasa ketakjubanku akan betapa mirisnya perilaku iri dengki jika menggerogoti jiwa ibu-ibu penggosip itu. Naudzubillahi min dzalik. Semoga terlindung dari sifat-sifat buruk dan tercela, aamiin, bisik hatiku.
“Terus dia mulai mengambil alih KBIH dan diampunya sendiri beserta suami di kawasan rumahnya.”
Ibu melanjutkan dengan berapi-api. Aku ingin sebenarnya memprotes ibu dengan segala tuduhan tak beralasan itu. Tapi aku sadar mungkin ibu hanya terbawa arus emosi yang ditularkan oleh teman-temannya di grup arisan ataupun pengajian. Memang aneh ya, kelompok pengajian itu acapkali tidak membawa pengaruh yang baik bagi pesertanya tetapi justru pengaruh buruk. Menggunjing, saling mengolok atau berlomba-lomba bermewah-mewahan.
Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh yang ibu maksud diambil alih itu adalah KBIH milik organisasi muslim terbesar di kota kami. Kebetulan sekali pencetus pertamanya adalah almarhum ayahku, kemudian dilanjutkan bibi dan pamanku sepeninggal ayah. Jadi dalam kurun kepengurusan selama tiga periode seolah kendali ada di tangan keluarga besar kami. Namun dengan pengaruh bu Mahfudz yang seorang pengusaha kaya di kota kami, mereka datang sekitar sepuluh tahun lalu, KBIH itu berpindah tangan kepengurusannya kepada mereka.
Menurutku tak apa –apa juga, karena itu kan milik organisasi. Asal disepakati semua pihak, kepengurusan boleh dipegang siapa yang ditunjuk dan dipercaya. Iya kan? Aku malah mencurigai mulai ada rasa iri dalam tubuh ibuku, mungkin terimbas ibu-ibu lainnya. Ah..aku tak mau ketularan juga ah.
“ Dan sekarang, barusan kemarin itu, ternyata diam-diam dia membangun gedung Kanzus sholawat yang megah di halaman belakang rumahnya yang ternyata luas. Lalu grup pengajian yang biasanya datang beramai-ramai ke masjid, sekarang dia kup sendiri di dalam gedung barunya itu. Mengadakan pengajian sendiri dengan merebut jamaah yang biasanya menjadi jamaah pengajian di masjid”
Ooh..jadi ini mungkin hal terbaru yang paling meresahkan ibu. Ibu merasa kehilangan jamaahnya dan merasa dirugikan karenanya. Tetap saja jika sesuatu mulai menyenggol langsung hal yang berkaitan diri sendiri, meski pada awalnya tidak peduli akhirnya menjadi tak bisa tinggal diam.
“Oh ya? Bukannya rumah bu Mahfudz dan pekarangannya sudah dipenuhi dengan bangunan showroom motor dan toko computer bu? Kupikir sudah tidak ada lagi halaman belakangnya?”
Keningku berkerut sambil terus membayangkan lokasi rumah bu Mahfudz yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan keluargaku, ibu dan bibi-bibiku.
“Oh iya, ada ternyata. Aku juga baru tahu kemarin. Huh! Seharusnya orang kaya itu cukup menyumbang saja dan biarkan aktifitas social dan keagamaan dikerjakan oleh ahlinya. Para kyai, ustadz dan relawan. Bukannya semua dikerjakan sendiri!” 
Ibu melanjutkan dengan kalimat panjangnya. Menegaskan ketidaksetujuannya dengan cara-cara bu Mahfudz meng-kup area gerak sebagian besar keluarga kami yang turunan pesantren. Hohoho…...jadi itu masalahnya, getir sekaligus geli ketika aku sampai pada simpulanku sendiri.
“ Ya, tidak apa –apa bu. Mungkin bu Mahfudz ingin berkontribusi langsung, tidak dengan harta saja tetapi juga waktu, energi dan terlibat secara fisik. Bersentuhan dengan orang-orang yang disumbang kegiatan dan aktifitasnya” 
Aku mencoba meredam amarah ibu dan mengembalikan kesadarannya yang mungkin terkotori bisikan orang-orang yang tak ingin melihat sesama kami rukun dan damai.
“Halah! Alasan saja. Tiru tuh bu Zul juragan emas yang suka menyumbang juga. Dia tetap saja rajin berdagang emas dan menyumbang ke sana kemari tanpa turut campur organisasi, institusi ataupun pesantren yang disumbangnya. Dia tidak berusaha menonjolkan dirinya sendiri. Ini lho aku yang menyumbang ini itu. Tapi justru orang-orang menaruh hormat padanya. Lha kalau ini….apa yang begini ini bukan karena bu Mahfudz gila hormat, gila status…”
Ibu makin meracau tak jelas.
Astaghfirullahaladziim..
“Mungkin bu Mahfudz meragukan kemampuan mereka yang diberi amanah, bu. Sehingga beliau mulai membuka sendiri beberapa layanan sosialnya. Kenapa orang-orang hanya melihat sisi negatif dan mengolok tindakan beliau” 
Dengan hati-hati sekali kusampaikan kemungkinan yang terjadi. Lebih baik husnudzon daripada tidak. Iya kan?
“Atau dia bisa memperoleh dan menerima sendiri lebih banyak sumbangan dari pihak luar jika dia yang memegang amanahnya. Iya kan? “ jawab ibu sekenanya. Ada nada suara dengan kecurigaan yang dalam.
Oh ibu. Aku tak tahu harus berada pada pihak siapa? Ibu dan bibi-bibi serta beberapa orang yang ada dalam kubu mereka. Atau tetap menanam prasangka baik pada pengusaha itu, bu Mahfudz dengan pasangannya. Karena aku sendiri adalah seorang yang berlatar belakang keluarga santri tetapi lebih cenderung menjadi pengusaha daripada jadi bu nyai.
Ah entahlah. Siapa yang lebih benar, aku tak tahu. Atau mungkin kedua kubu sama benarnya tetapi tidak saling memahami. Aku tak berusaha ingin tahu dan turut campur. Urusanku sendiri mengurus dua yatimku sepeninggal ayahnya dalam kecelakaan tol empat tahun lalu saja sudah cukup menyita perhatian dan waktuku.
Dan lagi sekarang PRnya adalah think local act global, jadi kenapa tidak bersatu saja semua orang dan bukannya malah memecah belah diri sendiri dengan sesama muslim. Aneh saja.

**

“Ke mana anak ini?”
Aku mencari anak laki-lakiku sesiang ini. Karena dia sudah tidak ada di sekolahnya waktu kujemput. Kucari ke rumah temannya yang bernama Bagas, Ahmad dan Farhan, dia tak ada. Kemudian aku teringat Husein-sulungku- pernah cerita ia diajak main ke tempat Rahman, salah seorang yatim yang tinggal di Darul Aitam milik bu Mahfudz. Jadi ke sanalah aku melajukan motorku, berharap ketemu Husein.
Memasuki pagar kawasan rumah bu Mahfudz dengan santainya, aku melewati showroom motor di bagian depan, toko computer dan garasi di sebelah kanan. Kemudian melewati halaman samping rumah beliau yang tinggi menjulang. Tak tampak  ada orang di sana, aku melanjutkan motorku melaju karena kulihat ada jalan ke bagian belakangnya lagi.
Aku belum pernah ke sini sejak setahun lalu, sepulang aku dari ibadah haji dan memilih bekerja di balik meja dalam kamar. Agaknya area kawasan ini benar-benar telah menjadi semi umum dan boleh dimasuki siapa saja. Meski begitu aku tetap menjaga sikapku. Mencoba mencari seseorang yang bisa ditanya-tanya, tapi tak ada.
“Huseennn…..” aku memanggil – manggil nama anakku.
Tak ada suara apapun terdengar. Senyap. Motorku seketika berhenti saat kupijak rem saat mataku menubruk pemandangan menakjubkan di depanku. Sebuah bangunan sangat mewah berada di tengah pelataran yang sangat luas. Letaknya yang beberapa ratus meter di belakang kompleks bangunan rumah dan showroom depan, tentu saja menutup kehadiran gedung ini dari jalan raya. Rupanya ini yang diceritakan oleh ibu. Oh ya, ini memang gedung yang benar-benar hebat. Sangat mewah dalam ukuran ekonomi rakyat kota kecilku. Aku takjub dan ingin mendekat tapi kuurungkan niatku karena aku ke sini sebenarnya mencari anakku, bukan untuk menyelidiki sesuatu atau sebangsanya.
“Orang-orang salah memahami aku.”
Kata bu Mahfudz yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah kiriku. Uh oh, berapa menit sebenarnya aku terbengong-bengong tadi.
Aku terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba, tapi segera kuperbaiki sikapku. Kustandard-kan sepeda motor dan segera berdiri sigap menyambut tangan kanannya. Kami bersalaman. Aku ragu apa dia mengenalku? Lalu apa maksud perkataannya tadi? Apakah dia tahu bahwa aku juga punya pikiran yang sama bahwa orang-orang salah memahaminya? Nhah iya kan?
“Maaf, bu. Maaf. Apakah Husen anak saya main ke sini, bu. Kata anak saya, temannya bernama Rahman tinggal di rumah yatim milik bu Mahfudz.” 
Aku segera kembali ke tujuan semulaku ke sini sebelum melantur ke omongan lain karena memang itu yang terpenting. Sekarang jaman penculikan, jadi keberadaan dan posisi anak-anak menjadi penting serta harus diawasi terus. Oh, bukan paranoid tentu saja. Hanya stay aware, tetap berhati-hati dengan segala situasi.
“Oh iya, Husen. Dia ada di dalam darul aitam, bermain dengan Rahman dan anak-anak lainnya” jawab bu Mahfud sambil telunjuknya mengarah ke rumah pavilion di belakang rumahnya yang besar.
“Ayo masuk ke dalam rumah” ajaknya kemudian.
Aku mengikutinya. Kami berjalan menyeberangi pekarangan yang luas yang pagarnya berbatasan dengan area halaman gedung mewah baru itu. Arah kami berjalan menjauhi area gedung itu. Saat melewati rumah pavilion-darul aitam- kulongokkan kepalaku  ke dalam, dan tampak Husen berlari mendekat.
“Maaf ya, mi. tadi tidak pamit dulu” kata sulungku dengan matanya yang jail.
Aku menggeleng-geleng menahan kejengkelan.
“Sudah sholat dan makan?” tanyaku mengalihkan ke sesuatu yang lebih penting dibanding meluapkan kemarahan.
“Sudah, mi. sama teman-teman.Aku masih mau main” jawabnya sambil langsung ngacir, pergi bergabung kembali dengan teman-temannya.
“Yuk….” kata bu Mahfud sambil menggamit lenganku. Aku tak menolak dan dengan penuh rasa ingin tahu mengikuti kakinya melangkah.
Kami duduk di ruang tengah rumahnya yang luas. Mungkin ia ingin mengajakku bicara yang lebih informal sehingga ia tak memilih ruang tamu sebagai tempat kami duduk.
“Kamu mungkin sudah dengar pembicaraan orang banyak tentang aku dan langkah-langkahku yang mengejutkan mereka”
Bu Mahfud membuka percakapan langsung pada intinya. Sepertinya ia tahu aku sangat sibuk dan bukan tipe orang yang suka menghamburkan waktu untuk basa basi. Aku menghargainya, sangat. Ia mungkin salah seorang pengusaha yang bisa membaca karakter orang lain dari wajah atau mata.
“Iya, bu. Saya kira mereka berlebihan” kataku jujur, meski tidak sepenuhnya yakin dengan perkataanku. Siapa melawan siapa, atau kebenaran apa yang sebenarnya tertutupi permusuhan ini? Kepalaku agak pening jadinya, padahal perempuan tinggi nan cantik di hadapanku belum lagi mengajukan pembelaan dirinya secara lebih gamblang.
“Suami saya aslinya juga santri, Fin. Saya juga santri tulen sebenarnya. Hanya saja kami berasal dari kota lain dan tidak banyak yang tahu asal usul kami. Cita-cita kami sebenarnya adalah memiliki pesantren, rumah yatim piatu, sekolah dan madrasah serta universitas juga banyak lembaga yang menaungi sebanyak mungkin anak-anak kurang mampu. Kami tidak mau cita-cita yang luhur ini terwujud dengan cara kami menjadi fasilitator atau guru saja, sementara kami menengadahkan tangan kepada orang-orang kaya. Jadi kami membalik strategi kami, Fin”
Ia menghela nafas panjang. Mengambil jeda setelah kalimatnya yang panjang. Aku membiarkannya terus bicara. Kutangkap kejujuran dalam matanya.
“Aku bertekad menjadi memiliki modal terlebih dahulu, dari kantung kami sendiri. Kemudian kami baru mulai membangun  dan mewujudkan cita-cita kami tersebut. Apa itu salah, Fin?  “
Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. Iya, itu sama sekali tidak salah. Bahkan sangat terpuji.
“Orang banyak mengatakan yang tidak baik tentangku, yang disangka meng-kup semuanya agar banyak sumbangan mengalir kepada kami. Oh, hampir saja saya marah dan mendudukkan persoalan ini pada tempatnya. Tetapi pak Mahfud melarang saya melakukannya. Karena tujuan kami hanya Allah, jangan sampai keterangan atau penjelasan kami mengurangi nilai perjuangan yang kami lakukan”
Jadi kenapa bu Mahfud menceritakannya padaku jika demikian? , bisik hatiku.
“Aku melihatmu sebagai seorang muda yang lebih cerah pemikirannya, lebih bebas dari prasangka. Kami membutuhkanmu sebagai tenaga pendidik  di sekolah yang akan kami bangun nantinya. Bagaimana menurutmu ? bagaimana cara yang baik bagi kami untuk bersikap? Terus terang kami tidak antipati dengan kongsi, kerjasama ataupun sinergi apapun. Tapi kami ingin memilih yang sesuai dengan rencana dan rancangan kami. Orang-orang terbaik dan tulus. Apa kami berlebihan?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng lagi. Oh sama sekali tidak berlebihan. Aku jadi ingat bagaimana Steve Jobs mengendalikan semuanya agar seluruh tim adalah orang-orang kelas A. Agar perusahaan dan produknya juga hebat. Everlasting. Steve disiplin terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain, bahkan kawan-kawan terdekatnya. Banyak orang-orang di kota kecilku mungkin kurang siap dengan perlakuan yang keras, disiplin dan ‘kejam’ macam itu. Mungkin pak serta  bu Mahfud sudah membaca ini dan demi menghindari perselisihan yang lebih fatal, mereka menciptakan system mereka sendiri yang terintegritas. Dan karenanya kesannya eksklusif dan tidak bersahabat. Aku paham sekarang.
“Terimakasih, Fin. Kau boleh ke sini kapan saja dan berikan kami masukan apa saja untuk kemajuan institusi kita nantinya ataupun bagaimana caranya agar perang dingin dengan banyak orang ini akan selesai dengan baik” pesan bu Mahfud ketika aku dan Husen berpamitan pulang.
Eaaaah….malah aku yang dapat PR J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi