SESAT MEMBAWA NIKMAT



SESAT MEMBAWA NIKMAT

Arsitek yang jadi penulis, mungkin tidak mengherankan dan mengundang decak kekaguman jika ia menulis tentang arsitektur. Seperti Imelda Akmal dan Avianti Armand. Namun jika ia menulis sastra yang indah dalam bentuk puisi ataupun novel, hmmm…mungkin dia memang berbakat atau memiliki multitalenta. Atau dianggap salah jurusan jika akhirnya dia memilih menanggalkan profesinya sebagai arsitek dan memilih jalan hidupnya sebagai novelis atau sastrawan. Ada juga kan?
            Ada seorang dokter hewan yang menjadi sastrawan seperti penyair terkenal Taufik Ismail. Juga dokter Tompi yang menjadi penyanyi. Bahkan ada pula dokter yang jadi developer perumahan sepenuhnya dan meninggalkan profesinya sebagai dokter. Sarjana Teknik yang memilih jalan hidup sebagai guru PAUD sambilannya petani jamur. Sarjana akutansi menjadi trainer parenting class dan seterusnya dan sebagainya.
            Jurusan pendidikan yang dipilih tidak sesuai dengan jalan karir, atau bisa juga disebut jalan karir yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki bisa disebabkan oleh banyak hal. Pilihan jurusan yang tidak sesuai minat, bakat dan potensi karena tidak mengenalinya dengan baik, karena paksaan orang tua, karena ketersediaan tempat, dana yang tidak memungkinkan dan lain-lain alasan. Jalur karir yang diambil seadanya yang bisa dikerjakan, kondisi mengharuskan seseorang melanjutkan bisnis keluarga dan kemungkinan lain adalah dia baru menyadari kemampuan, minat, bakat dan potensinya di jalur lain. Jalur yang mungkin sama sekali lain.
            Karena kita bicara tentang pendidikan dan hak asasi manusia, kita akan meneropong dan menguliti bagaimana pendidikan dengan spesialisasi / jurusan tertentu yang dipaksakan oleh siapa saja termasuk orang tua akan bersinggungan dengan hak asasi manusia. Seperti halnya orangtua yang memaksakan anak-anaknya menerima perjodohan. Hmmm….
           
Orang tua dan orang yang merasa tua terkadang merasa lebih tahu apa yang baik untuk anak-anaknya. Padahal pada kenyataannya, seringkali para orangtua ini hanya didorong oleh keinginan untuk memperoleh prestige karena memiliki anak-anak yang sekolah kedokteran, teknik dan seterusnya yang sesuai  keinginan pribadi mereka. Yang demikian ini mengkin penghiburan dan kebanggaan bagi orangtua, akan tetapi bisa jadi penyiksaan dan tekanan bagi anak-anak yang menjalaninya.
            Melihat banyaknya kasus dan kecenderungan yang seperti itulah, semestinya paradigma berpikir dan tindakan diperbaiki dari saat ini, mulai dari diri, kemudian merambah ke lingkungan yang lebih luas dan program yang lebih panjang lebar dan dalam. Agar tidak terjadi lagi pemaksaan dan pemerkosaan terhadap pilihan –pilihan siapapun terhadap program pendidikan apapun.
            Masih lumayan jika ketersesatan mereka dalam jalur karir pilihan mereka akhirnya membawa nikmat meski tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Atau mereka tetap pada jalur karir yang sesuai dengan latar belakang pendidikan meskipun akhirnya tidak bisa optimal dan maksimal karena mereka tidak menyukai bidang tersebut. Karena cinta yang tulus terhadap pekerjaan, perasaan enjoy atau menikmati suatu aktifitas  akan membangkitkan antusiasme tinggi dan outputnya tentu saja lebih baik, apalagi jika didukung dengan kemampuan/skill..
Yang parah dan memprihatinkan jika pendidikan mereka tidak selesai (tidak lulus) karena frustasi di tengah jalan. Oh oh ! Ini menakutkan! Ada lagi yang lebih menyeramkan, yaitu banyaknya pengangguran dari kelompok sarjana /lulusan perguruan tinggi karena menganggap lowongan pekerjaan yang ada ‘tidak pantas’ dan ‘tidak layak’ untuk sarjana lulusan perguruan tinggi ternama seperti mereka.
Agar hak asasi manusia yang ini terlindungi, akan bijaksana jika terus digalakkan parenting class baik bagi orangtua maupun guru dan unsur-unsur terkait dengan pendidikan. Menjadi penting bagi semua orang untuk mengenali minat, bakat dan potensi anak-anak serta generasi muda. Terdapat  berbagai cara yang saat ini dikembangkan  untuk tujuan tersebut seperti pengamatan langsung dan mendalam secara perseorangan/personal, test minat bakat, melalui tulisan tangan anak, melalui sidik jari/ fingerprint dan lain-lain.
Bergerak dari pemahaman dan pengenalan ini dilanjutkan dengan komunikasi dua arah dengan anak mengenai keinginan mereka, memberikan arahan atau masukan yang mereka butuhkan dan seterusnya , kemudian pilihan jurusan rel pendidikan yang sesuai. Para guru dan pendidik di sekolah dan institusi juga harus membebaskan diri dari menghakimi terhadap anak-anak didik mereka. Menghitamputihkan , mengkotak-kotakkan dan sejenisnya.
Para pendidik juga semestinya terus menerus mengembangkan sistem pembelajaran yang berorientasi kepada anak didik. Mefasilitasi mereka sehingga semakin kreatif , menjadi problem solver dan menuangkan serta mengembangkan sayap-sayap kemampuan mereka selebar-lebarnya, melangitkan cita-cita ,melambungkan dan memercusuarkan karya-karya mereka setinggi-tingginya dengan hati yang tetap membumi dan akhlaq yang tetap santun.
PR berat?
Mungkin!
Nonsense?
Tidak ada yang tidak mungkin jika diupayakan dengan sungguh –sungguh dengan dukungan semua pihak dan tentu saja tak lepas dari pertolongan Tuhan Yang Maha Pendidik. Robbul Izzati. Tuhan yang Maha Tinggi dan Maha Mulia. Yang memuliakan manusia dengan membekalinya dengan potensi unik bagi setiap orang. Sehingga sangat tidak bijak jika kita mengabaikan potensi unik ini apalagi membonsai dan mengkerdilkannya dengan cara pemaksaan yang tentu saja melanggar hak asasi manusia.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi