[cerpen] Ban Serep

Kemarahanku tidak tertahan lagi. Sudah sampai di ubun-ubun dan siap meledak sekarang.

“Mbak Syafina nggak fair! Kan waktu itu kita sudah bikin kesempatan!” aku meradang.

Telunjuk mengacung-acung ke arah kakakku yang wajahnya cantik seperti bidadari tapi hatinya bak nenek sihir. Tapi dia tidak bereaksi, tidak membuka mulutnya. Wajahnya datar. Tak kutangkap aura penyesalan sedikitpun. 

“Mah.. “ kulirik Mama untuk mencari dukungan.
Tapi Mama  menunduk sejak tadi. Masih kutunggu beberapa waktu, tapi dia tidak berani mendongakkan wajahnya.

“Pah..”  dengan tatapan tajam kupandangi Papa. Berharap dia bersuara untuk membela kepentinganku. Tapi papa diam seribu bahasa.

“Pokoknya kalau mbak Syafina nggak mau pesta nikahan kita jadi barengan, aku batalin pernikahanku!” ancamanku tidak main-main.

Aku masih berharap salah seorang di rumah ini membelaku. Mungkin mbak Syafina akan berubah pikiran di menit-menit terakhir pertemuan menegangkan ini. Atau Papa yang diktator memberikan keputusan tepat. Atau Mama yang pengasih berusaha membujuk kakak keras kepalaku itu.
Aku masih menunggu dengan getir.
Tapi harapanku sirna. Tak ada yang bergeming. Semuanya memang raja tega. Semua tak peduli akan kebahagiaanku. Tak peduli perasaanku.
“Oke! Aku juga tidak harus peduli siapapun!” teriakku sembari pergi cepat meninggalkan ruangan busuk yang penuh orang-orang busuk itu.

Air mata yang terus mengalir sedikit menyamarkan penglihatanku. Meski sambil berlari masih kujejakkan hati-hati kakiku meniti tangga menuju lantai rumah di mana kamarku berada.
Bam! Suara pintu kamar tak cukup mengekpresikan kemarahanku sebenarnya. Seandainya aku bisa meledakkan sesuatu yang lebih besar dan menghebohkan.
Kuhempaskan tubuh yang beberapa bulan ini menahan lapar demi bisa makin langsing dan siap di pelaminan tapi ternyata sia-sia. Kuraih ponsel di meja nakas sebelah ranjang. Kabut di mata makin menebal, tapi aku sudah bertekad untuk tidak peduli. Untunglah aku tak perlu memijit tuts nomor-nomor karena ada speed dial.

“Malam-malam nelpon. Ada apa, sayang?” suara renyah cowok di seberang telpon terdengar basa-basi dan berisik di telingaku.

“Sayang, sayang. Aku bukan sayangmu lagi! Pernikahan kita batal! Kita putus!” teriakku lalu menutup telpon dengan semena-mena.
Ingat kan? Aku tak harus peduli siapapun lagi.

**

Seperti dugaanku, cowok berkaca mata yang sama sekali memang bukan tipeku  itu datang ke rumah. Tapi aku bersikeras tidak mau menemuinya di ruang tamu. Meski begitu, telingaku awas. Duduk di pojok ruang tengah yang tidak berdaun pintu, aku bisa mendengar percakapan mama, papa dan mbak Syafina yang egois itu dengan mantan cowokku. Ingat ya? Mantan! Dia barusan semalam kuputus dan batal jadi calon pendampingku.

“Kami juga kaget mendengar ini,” itu suara papa usai mendengar penuturan Hendra.

“Gina apa-apaan sih pakai acara memutus hubungan kalian,” itu gerutuan mbak Syafina.

Mana suara Mama? Aku masih menunggu.
Ternyata Mama memilih tidak bicara dan malah pergi menemuiku.

“Kamu kenapa mutusin Hendra?” bisik Mama sembari memegang kedua tanganku.
Kutepiskan perlahan tangan Mama. Tak kujawab pertanyaannya. Sebenarnya aku agak tega dengan wajah Mama yang memelas. Tapi apa peduliku. Toh semua orang juga tidak peduli padaku. Kularikan tubuh dan jiwaku kembali berguling di kamar tidur. Membiarkan Mama mengejarku tapi beliau hanya berhasil sampai di pintu kamar, karena aku telah bergegas menguncinya.

**

Hendra datang di saat yang tepat. Itu saja sebenarnya alasan kenapa waktu itu aku menerimanya sebagai pacar sekaligus tunangan dalam waktu penjajakan yang singkat. Padahal jelas-jelas Hendra bukan tipeku.

“Gina? Kamu yakin pilihanmu?” banyak orang meragukanku, termasuk mbak Syafina sendiri.
“Sudah deh…. Gue gampang kok beradaptasi,” sahutku asal, meski tidak terlalu yakin.

Setelah lama memilah dan memilih, akhirnya Mbak Syafina menentukan siapa calon suaminya. Tapi seperti juga kakak kami yang pertama dan akhirnya kawin lari bahkan tidak kembali ke rumah ini, mbak Syafina terbentur pada perijinan keluarga kami. Waktu itu Papa yang keras dan sulit ditaklukkan akhirnya mengikuti bujukanku agar menyetujui calon iparku. Dan sebagai hadiah atas keterlibatanku menggoalkan calon suaminya, aku mau pesta pernikahan mbak Syafina adalah juga pesta pernikahanku. Meski waktu itu aku baru saja putus dari cowokku sebelumnya. Begitu mbak Syafina setuju, aku langsung menerima Hendra.
Tapi semuanya kacau ketika mbak Syafina berubah pikiran. Di tengah-tengah perjalanan mempersiapkan acara-acara dan pesta pernikahan, si egois itu mendepakku dari rencana hari indah itu.

“Kalau aku tidak jadi menikah barengan mbak Syafina, artinya aku tidak jadi menikah!” tandasku keras ketika Hendra menelponku usai gagal menemuiku pagi tadi.
“Tapi kan kita masih bisa menikah besok-besok,” Hendra terdengar memelas.
Tapi aku sudah kukuh dan kokoh dengan pendirianku sendiri.
“Tentu saja kita masih bisa menikah besok-besok. Tapi menikah sendiri-sendiri. Kamu kalau menikah duluan juga nggak apa-apa, Hendra,” suaraku meninggi.
Aku sebenarnya tidak mau lebih tajam lagi menggores luka di hatinya. Tapi kalau Hendra terus mendesak, mau bagaimana lagi?

“Aku hanya akan menikah denganmu. Aku masih menunggumu sampai kamu siap,” suara lembut Hendra jelas mengandung ketakutan.
“Aku yang tidak siap,” nada suaraku menurun.
Kuambil gelas berisi air putih di meja nakas sebelah tempat tidurku. Kuteguk perlahan.

“Kalau kakakmu yang salah. Kenapa aku harus turut menjadi korban?” Hendra terdengar merengek.
Aku semakin mentertawakannya dalam hati. Dasar cowok cengeng. Dari pertama dulu aku juga sudah mengira dia bukan tipe cowok kuat. Bukan tipeku sama sekali. Beruntunglah aku batal menikahinya.
“Sudahlah, Hendra. Ada banyak cewek lain lebih baik daripada aku di luar sana. lebih muda, lebih cantik. Kamu boleh menikah dengan siapa saja. Siapa bilang kamu korban jika sekarang kamu dilepaskan begini. Justru kamu menjadi korban kalau menikah denganku karena jelas-jelas aku memanfaatkanmu untuk kepentingan mengejar pesta itu,” jelasku panjang lebar.
Setidaknya Hendra harus dibangkitkan kepercayaan dirinya. Dan yang jelas, semakin dia bangkit dari keterpurukan dan segera menikah, akan semakin baik bagiku. Aku tidak mau dia terus membayangiku, menghalangi langkahku untuk menempuhi kebahagiaan dengan cowok lain yang lebih sesuai dengan kriteriaku.

“Please, Gina. Please. Aku masih menunggu kamu sampai kamu mau dan siap. Maaf kalau aku sempat kalut karena kamu putus dengan cara mendadak dan hanya via telpon,” Hendra mengiba-iba.
Cuih. Harusnya dia sadar siapa dia. Sayang sekali aku pernah sempat memberinya harapan gara-gara sempitnya waktu. Di antara beberapa cowok yang mendekatiku saat itu memang Hendra yang paling lumayan. Pemahaman dan pengamalan agamanya bagus. Itu yang terpenting buatku. Karena dari sisi karir dan pendapatan, jelas dia kalah daripada aku. Tapi saat ini situasinya lain. Pesta pernikahan yang kukejar telah lepas dari tanganku. Artinya aku masih punya waktu lebih panjang untuk kembali memilih dan mencari calon pasangan yang lebih ideal.
Jadi…

“Maafkan aku, Hendra. Maaf banget. Tapi aku tidak bisa. Maaf kalau kita harus putus,” kujaga kalimat dan nada suaraku agar tidak membuat cowok itu tersinggung karena sikap dan keputusanku.

“Kamu yakin, Gina?” suaranya terdengar jauh.

“Iya. Maaf ya..” lirihku.

“Padahal tanggal pernikahan sudah ada,” keluhnya.
Aku ingat mimpi-mimpi yang sempat kami urai bersama. Mimpi-mimpinya tentu saja. Tentang bulan madu, rumah, anak-anak dan sebagainya.

“…” aku diam tidak bicara. Semoga Hendra tabah, tulus doaku dalam hati.

“Aku akan tetap menikah tanggal itu karena seluruh keluarga telah menantikannya,” kata-kata Hendra membuatku linglung.
Oh Tuhan, jangan buat Hendra menjadi gila gara-gara penolakanku. Jangan buat dia nekat menculikku juga.

“Aku memutuskan pacarku tempo hari saat kamu punya rencana indah tentang kita. Tapi sepertinya memang kami yang sebenarnya berjodoh,” kalimat Hendra membuatku terhenyak.

What??!! Semudah itu?


“Aku akan tetap mengirimkan undangan untukmu meski berbarengan dengan pesta mbak Lili,”  lanjut Hendra dengan nada suara datar, tanpa beban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi