Brondong From Hell

BRONDONG FROM THE HELL
Oleh Dian Nafi


Lampu – lampu mulai dihidupkan. Meski malam mungkin masih belum mengintip, tetapi ruangan hanggar gedung olah raga yang jadi tempat pameran buku ini sudah perlu penerangan. Aku masih duduk nyaman di kursi belakang meja pamer, di stand penerbitan yang sedang kujaga sendiri.
Lelaki muda itu – Weh namanya- mendekati stand-ku yang bernomor dua puluh empat. Lihat gaya berjalannya, gaya berdirinya memunggungi aku . Dua tangannya terbelenggu di belakang tubuhnya, dengan empat jemarinya mengembang, bergerak – gerak, seolah memanggilku ... sini .. sini…..
Anak muda satu ini lama lama memang bikin gemes aja. Antara dua sampai empat  menit setelah berdiri percuma di sana, kepalanya sedikit menyerong ke belakang. Ujung visualnya melirikku dengan tajam, dalam dan tatap penuh kehangatan. Dan seolah  memanggil kembali,  ayo sini ...sini.
Aku melebarkan senyumku sehingga mungkin mataku turut bercahaya memancarkan rasa bahagia dan juga gairah yang menyertainya.
Kedua jemariku memberi isyarat ‘peace’ kepadanya. Lalu keempat jemariku pun melambai,  memberi isyarat padanya agar berjalan mendekat ke arahku. Kutepuk kursi yang ada di sebelahku . Sebuah godaan yang mencoba  bilang,  ayo sini ....
Weh tak bisa menolak gejolak lelaki dan kemudaannya, jelas terbaca, meski langkahnya terlihat lambat dan penuh kehati - hatian.
Dalam beberapa detik kemudian kami duduk bersisian. Diawali dua empat  kalimat, diayun dua empat tawa, digenapi dua empat tatapan,  tahu tahu aku sudah damai di bahunya .
Tak ada yang perlu kita risaukan ketika kepala pening penuh  persoalan, bersandar nyaman di bahu kekar seorang pemuda yang hangat darahnya, wangi bau tubuhnya. Seakan tak ada beban apapun di dunia  fana ataupun maya.
Lalu kusadari betapa bodohnya aku selama ini. Mencintai dan mencandui seseorang yang bahkan tidak bisa kusentuh. Kekasih gelapku terdahulu – Gerhana- dengan segala mantranya di fesbuk yang menjerat dua tahunku sia – sia. Dalam gravitasi cintanya yang kurasa sebenarnya membelengguku. Meski kuakui aku juga banyak mendapat dorongan dan manfaat saat bersamanya. Tetapi jarak yang sedemikian jauh membuat yang maya itu tetap saja maya. Bersama Weh aku merasai kehidupan sesungguhnya yang nyata, bukan hanya rasa kosong  yang palsu. Menghidu harum tubuh yang bercampur asap rokoknya dan bau nikotin  menguar bersama nafasnya.
Weh sepertinya tahu aku lama mendambakan keintiman, kenyamanan dan kehangatan ini dari seseorang berjudul pria. Seolah bisa merasakan kerinduanku akan sentuhan. Jemari dan telapak tangannya meraih kepalaku sesaat.
Tetapi beberapa menit kemudian, seperti menyesali kealpaan kami, dia berseru kecil.
"Ya Allah ...manjanya .."
Mau tak mau aku terbangun dari lena. Ah, aku sedikit malu. Ternyata aku kalah sopan dengan anak muda ini . Aku merapikan dudukku dan menegakkan kepalaku. Untunglah Weh masih menyisakan senyum manis di wajahnya seolah memahamiku.
Sayangnya kebersamaan kami harus segera berakhir karena pameran buku berakhir hari Minggu ini. Weh banyak membantuku membereskan peralatanku dan membersihkan stand-ku. Aku tidak punya apa apa sebagai balasan. Hanya tiga buah buku karyaku. 
Meski Weh menggoda  "gitu doang ya?"
Mungkin dia mengharapkan ciuman perpisahan, tapi tidak kuberikan. Aku wanita terhormat kan ? Kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Pura pura malu. Meniru gerakan seorang gadis yang masih lugu dan orisinil. Aku tahu para pria menyukai tantangan dan sikap yang malu malu begitu, lebih menggemaskan. Benar saja, Weh menyeringai, senang.
Meski hari itu aku menutup perpisahan kami tanpa harapan lebih , tetapi sesungguhnya di dalam hati kecilku aku berharap  aku akan bertemu lagi dengannya dan mungkin melanjutkan kisah kasih yang seminggu itu .
**
Hatiku tiba tiba berdebar ketika melihat tatanan ruang di depan toko buku gramedia Java Mall. Aku pergi ke lantai tiga supermarket ini karena hendak membeli titipan seorang teman, tiga novel pemenang lomba  yang diselenggarakan sebuah penerbit dan media nasional.  Sepertinya ada pameran buku yang sedang dipersiapkan. Beberapa  nama penerbit tampak tertulis di atas tatanan buku buku yang ditata dalam beberapa cluster. Apakah Weh juga ikut pameran buku?
Kukirim pesan singkat ke nomernya. Dan Weh membalasnya dengan antusias, dia akan datang dalam beberapa menit lagi . Aku menantinya dengan penuh debar. Beberapa kali mataku bergerilya mencoba mencari sosoknya di antara sekian banyak pengunjung mall yang bergerak mendekat ke stand stand pameran.
Untuk beberapa saat, perhatianku beralih ke buku tapi kemudian mataku bergerilya lagi. Deg! Detak jantungku berasa keras mengejutkan. Itu dia , Weh !
Wajah tampannya yang kurindukan hadir di sana. Empat puluh lima derajat dari tempatku berdiri. Berbalut kemeja putih garis garis ,dengan garis senyuman yang memikat di bibirnya, matanya bercahaya menatap ke arahku. Pipinya memerah tersipu malu karena ketahuan tadi matanya juga bergerilya mencari kehadiranku. Dan waktu seakan mencuri kami. Nafasku mungkin terhenti sepersekian detik ketika dia mulai melangkah mendekati tempatku berdiri. Dengan gaya elegannya dia berjalan lambat sembari melepas jaket kulitnya. Sehingga bahunya yang kekar kini hanya terbalut kemejanya, tampak mengundangku. Aku teringat pernah bersandar di sana, Di bahunya yang wangi dan hangat.
Semakin Weh mendekat, degup jantungku semakin keras. Waktu benar - benar mencuri kami. Gerakan indah seperti gerakan lambat atau slow motion dalam film film merangkum pertemuan kami ini. So beautiful dan mendebarkan. Ketika Weh benar benar telah berada di sisiku, aku bisa mencium wangi tubuhnya dan merasakan hangat auranya. Dia menjabat tanganku erat dan aku membalasnya dengan gaya yang elegan. Meski hatiku sebenarnya melunjak kegirangan karena tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi.
**
Oh, bilang dan katakan saja aku gila. Tetapi sejak merasakan manis dan hangatnya Weh - lelaki  muda berusia dua puluh empat tahun, aku seperti terobsesi. Setiap melihat mereka yang usianya sekitaran dua puluh empat tahun, seolah aku tak mau melewatkannya begitu saja . Kucari tahu dalam waktu yang pendek itu, apa kelebihan si pemuda itu kira-kira , apa yang diminatinya dan seterusnya . Mengapa  ada yang tampak seksi, ada yang tidak, dan seterusnya dan sebagainya .
Pun ketika aku datang ke Jakarta karena mendapat undangan diskusi penulisan cerpen di gedung kompas. Bertemu dengan  beberapa pemuda sekaligus berusia sekitaran dia puluhan tahun, ternyata tak cukup memikat hatiku.
Sampai malam rangkaian acara masih berlangsung. Ditutup  dengan penampilan pembacaan cerpen oleh dua puluh cerpenis finalis peraih penghargaan cerpenis terbaik tahun ini. Aku masih menikmatinya ketika sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku.
Beberapa menit kemudian aku sudah duduk di taksi bersama sahabat mayaku mbak Iis yang akhirnya bersua setelah hanya bersapa via maya dalam dua tahun ini. Dia single parent juga seperti aku, pimpinan redaksi sebuah tabloid parenting skala nasional. Aku sudah pasti tidak bisa menolak ajakan untuk menginap di rumahnya.
**
Pagi hari saat turun dari lantai dua rumah mbak Is, visualku tertambat pada seonggok tubuh yang tampak terkapar di sofa ruang tamu. Kuperkirakan ini adalah anak sulung sahabatku.  Hmm...melihat perawakannya yang kecil, tidak tinggi dan face-nya yang kanak kanak, mungkin dia  masih duduk di sekolah menengah atas.
Ternyata dugaanku meleset.
"Kenalkan, tante. Ini Adhys , sulungku. Sudah kerja di Kompas  TV . "
Oops. Berarti sudah selesai kuliah ?
"Lulus dari komunikasi UNPAD juga kayak mamanya " ujar mbak Is menjelaskan.
"Berarti berapa tahun usianya ?" Tanyaku begitu saja.
"Dua puluh empat "
Mati aku!
Kepalaku langsung berputar cepat. Cari aman cari aman. Kalau aku memang lapar, jangan sampai sulung mbak iis ini yang kumakan.  Untung saja secara fisik, Adhys masih seperti kanak kanak jadi aku tidak begitu bernafsu.
Kami semobil berdua saja setelah menurunkan ibunya di kantor. Sempat kutangkap pesan  mbak Is pada Adhys "hati -hati "
Oh hey, adakah sang ibu merasakan  ancaman pada anaknya yang nampak culun itu ? Untunglah sejak semula aku tidak bermaksud mencelakai anaknya dengan mematahkan hatinya. Dengan otakku yang waras, otomatis hormon-hormonku pun mengikuti sehingga perjalanan lancar sampai kami berpisah. Untung saja aku punya Weh, brondongku yang asli. Kurasa aku tidak membutuhkan brondong lain selagi ada Weh.
**

Pulang dari Jakarta, aku banyak menularkan apa yang kudapat pada Weh. Aku ingin dia maju. Mengambil semangat dan meneladani kegigihan pak Jacob Utama dalam melahirkan dan menumbuhkembangkan Kompas.
Meski Weh menjawab pendek pendek pesan singkat yang kukirim, itu sudah cukup melegakanku. Sampai suatu waktu ketika aku mengirimkan pesan ke inbox fesbuknya berisi puisi ungkapan rinduku. Dia membalasnya dengan menelponku. Aku senang banget mendengar suaranya lagi.
“Mbak, kalau kirim pesan lewat sms saja ya. Jangan ke fesbuk”
“kenapakah?”
“karena cewekku punya passwordnya, dia suka buka fesbukku juga”
HAH ??!!
Sejak kapan punya cewek? Mosok hanya ditinggal tiga hari, Weh langsung berpaling dariku dan punya cewek lain? Halllooo ??!!!
"Sejak kapan ?" tanyaku tak bisa menutupi rasa penasaran yang membumbung, tapi dengan nada yang kalem. Pura – pura tenang dan terkendali.
"tiga empat bulan ini "
What ?!
Mataku langsung membelalak. Itu berarti dua bulan sebelum bertemu aku. Dan lagaknya bersamaku itu, Weh selalu seperti single yang available . Membuatku seperti layang layang yang ditarik dan diulur . Dia menebarkan pesonanya, memerangkap dan memenjarakan hatiku. Lalu tiba tiba mengaku sudah punya cewek setelah beberapa waktu. Jiwa detektifku meraba raba. Apakah waktu itu Weh mengira dia akan mendapatkan apa saja keinginannya jika bersamaku . Modal, kemewahan dan lain lain yang diharapkan dari seorang lady.Tapi karena aku tidak seperti yang ia bayangkan,  Weh memutuskan kembali pada pacarnya.
Teganya kamu melakukannya  padaku, Weh !!!
Rasaku habis habisan padanya . Meski tidak separah waktu aku menggilai Gerhana.tapi dia cukup menggerus energi, waktu , perhatian dan yang jelas hatiku yang juga sudah tak utuh ini.
Nyatanya amarah dan kekesalanku itu hanya berhenti di  dalam benakku sendiri. Tak benar benar keluar dari bibirku apalagi kutumpahkan di depannya. Aku bahkan menyalaminya dengan gaya yang sangat  elegan ketika secara tak sengaja bertemu  di sebuah toko buku suatu Rabu  siang.
"Hallo pacarnya orang " sapaku sambil menerima uluran tanganku .
Weh tersenyum tersipu.
Sialan ! Bahkan dalam keadaan bersalahpun dia masih tampak culun. Aku menyesal pernah terperangkap dalam pesona setan kecil ini , rutukku dalam hati. Padahal harusnya aku yang maestro dan memegang kendali.
"Sendirian ?" Tanya Weh basa basi seperti biasanya . Mungkin berjaga jaga dari kecemburuan orang lain yang mungkin datang bersamaku. Atau menghindari kesaksian orang lain atas cerita kami yang pernah  terjalin  meski singkat. Aku mengangguk dan kami bercakap sebentar dengan penuh kecanggungan. Aku menatap lengan dan bahunya, di mana aku pernah menyandarkan kepalaku beberapa waktu lalu. Kuhidu wangi bau tubuhnya yang kukira kemarin milikku.
Arrrrghhh !!!
Aku menyesal pernah dengan penuh percaya dirinya mengartikan tatapannya . Senyum dan sipunya. Kukira aku  yang akan mematahkan hatinya, tapi he did it before me. Shit !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi