behind the scene novel AYAH, LELAKI ITU MENGKHIANATIKU


Waktu mas Edi  memberikan judul malam itu, aku langsung kebut membuat satu sinopsis. Ketika sudah jadi tiga perempat bagian, tiba–tiba terlintas cerita lain dalam kepalaku yang menurutku lebih oke dan nge-jleb. Akhirnya aku meletakkan sinopsis yang pertama dan beralih mengerjakan sinopsis kedua. Ngebut juga, karena sesuatu yang panas di dalam kepala saat itu memang harus segera dituangkan biar tidak keburu dingin. That’s it, jadi. Langsung kukirim ke email mas Edi dan minta masukannnya. Dan beliau bilang ini sudah bagus banget, serta memberikan beberapa poin penting termasuk berapa halaman seharusnya novel ini.
Setelah menyelesaikan beberapa PR lain, aku akhirnya mulai mengerjakan novel ini. Aku targetkan dalam sebulan, novel ini harus rampung ditulis. Karena cukup tebal, tadinya aku sempat bagi bab–babnya dalam file terpisah. Dan kukerjakan melompat–lompat dari satu bab ke bab lain, karena sifat pembosanku sedang mampir dan ingin melakukan semacam eksperimen. Tetapi di tengah jalan, salah satu guru menulisku mengkritik caraku, sehingga aku menyatukan beberapa penggalan–penggalan yang sudah kukerjakan dalam satu file. Semuanya ada sekitar 107 halaman. Ketika hendak kulanjutkan, tiba–tiba kepikiran untuk membuatnya semakin dramatis dengan membuat situasi bahwa anak terkecil dari tokoh utama ini masih bayi, jadi terbayangkan kerepotannya akan lebih. Karena ada baby blues dan semacamnya. Walhasil aku akhirnya harus agak sedikit membongkarnya lagi supaya sesuai dengan skenario terakhir ini.
Bismillah…semoga lancar.
Oh ya, sempat mondak mandek tidak lancar. Aku kepikiran membaca Amba lagi karena Amba sangat kuat sekali aura kesedihannya. Tapi kupikir lagi, mas Edi maunya ini bacaan popular, sedangkan Amba agak sedikit nyastra kan. Ada kumcer mas AS Laksana datang, aku baca untuk isi bensinku supaya lancar nulis. Tapi kan gaya penulisannya sungguh lain, jadi ya hanya menyumbang sedikit energy. Ada kumcer mas Benny Arnas, kubaca untuk kepentingan yang sama, mendorongku merampungkan novel ini, tapi mas Benny kan bahasanya melayu banget ya, sastrawi habis, jadi ya menyumbang sedikit. Lalu datang novel Adit, teman satu camp-ku di salah satu writing camp, kubaca langsung habis dalam setengah hari novel hampir empat ratus halaman itu dan well, kayak gini nih seharusnya aku nulisnya. Mengalir, lancar, penuh konflik, berasa aura dan emosinya, kuat karakternya, ok aku siap. Tapi kepala berat karena habis membaca segitu banyak dalam sekali duduk dan hanya selang seling sedikit kegiatan lain. Walhasil akhirnya aku istirahat tidur dulu dan tidak langsung lembur. Paginya bangun, eh malah nulis behind the scene ini. Jadi here we go, aku lanjutkan nulis novelnya setelah sholat subuh. Bismillah.
Pas sudah sampai halaman 124, tetiba aku teringat punya bagan yang kemarin – kemarin biasa kugunakan untuk merencanakan secara detail novelku. Terpikir untuk menggunakan bagan tersebut di tengah–tengah proses ini, dengan tujuan supaya di bagian yang mandeg ini aku bisa jadi lebih lancar. Tapi agak ribet juga ya kalau menggunakan bagan di tengah jalan begini. Kayaknya jadi tidak praktis dan musti makan waktu untuknya. Jadi kuputuskan untuk kembali menyentuh dan melanjutkan naskah ini dengan langsung terjun di dalamnya lagi. Dan mungkin mengintip dan memakai bagan itu pada bagian yang dibutuhkan saja.
Lalu ternyata aku mengalami kesulitan lagi. Benar–benar stuck. Tanpa malu dan ragu, aku mencari tahu tips melalui masalahku ini dengan bertanya pada seorang novelis yang novelnya jadi tiap sebulan sekali. Apa rahasianya. Kemudian disarankan untuk aku kembali mengerjakan per bab. Jadi aku lepas lagi per bab itu dari naskah utuh. Kukerjakan  per babnya. Setiap satu bab selesai, kupasang ke dalam file yang mengangkut seluruh bab. Demikian, satu persatu sehingga akhirnya keseluruhan cerita itu komplit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi