3 Musketeers Go To UWRF (bagian 5)

 3 Musketeers Go To UWRF (bagian 5)


KARTINI’S LETTER DI NEKA ART MUSEUM
Menurut Ayu Utami- salah satu panelis di sini,-sebuah buku, suatu cerita, semestinya punya sesuatu di bawah permukaannya. Kalau bisa berlapis lapis, layers. Sehingga tak habis dan selesai-selesai dibaca.
Selain Ayu, ada beberapa panelis lain termasuk Dea (panelis muda dari Indonesia) yang wakjo alias awak bejo. Karena meski gugup lantaran audience so crowd, tapi translatornya menterjemahkan dengan interpretasi lebih canggih dan yahud.
Ngomongin Kartini sebenarnya akan lebih komplit kalau dengar juga versi mbah Soleh Darat, cerita Kartini belajar di Demak dan seterusnya. Sayangnya terlewatkan yang ini. Ada pertanyaan menggelitik dari audience, apa yang terjadi seandainya Kartini tidak lagi dianggap pahlawan nasional.


WOMEN IN ANCIENT TEXT DI INDUS RESTAURANT
.
Sesi ‘Women in Ancient Text’ yang dipimpin Laksmi Pamuntjak menampilkan Helen Creese – profesor bahasa dan penulis, dan I Nyoman Darma Putra – dosen sastra Indonesia di Universitas Udayana, dengan tema perempuan dan perannya dalam sastra lama. Helen memberi rangkuman tentang bagaimana cara perempuan berpikir, merasa dan menempatkan diri di masa lalu melalui karya sastra. Sementara Darma Putra mengangkat topik gerakan perempuan Bali pada 1930an, yang diberi nama Putri Bali Sadar, sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, serta menyediakan beasiswa pendidikan bagi perempuan.
Dalam sesi tersebut, ada pertanyaan menarik dari salah seorang penonton wanita. Ia begitu gemas setelah mendengar rangkuman Helen dan beberapa bagian dari karya sastra dan sejarah ‘Kakawin’  yang dibacakan, bahwa hampir semua tokoh perempuan di dalamnya berakhir dengan tragedi, pengorbanan dan kematian. Ia sangsi apabila kenyataan sejarah memang benar demikian. “With literature, you’ll never be sure if it is truth or not. It’s a matter of trust. You choose whether or not to trust your resources,” jawab Helen tak kalah menariknya.
Dari sesi panel ini aku juga mendapatkan ‘mantra’ yaitu Poles poles poles, polish polish polish. Artinya sebuah cerita yang bagus membutuhkan banyak sekali polesan dan perbaikan sampai dengan penyempurnaannya.
Chair penting banget perannya buat menghidupkan panel, dan bukannya mendominasi. I love how bu Debra Yatim dan  Jennifer Byrne meng-handle tugas ini dalam panel mereka.

SESI PANEL DENGAN TEMA IBU DI LEFT BANK MUSEUM
Sekian banyak pilihan, kalau panelis tidak menarik, gampang ditinggal audience

**

CHILDREN: THE MERMAID AND HER DOLPHIN PROTECTORS

Anak-anak aku antar ke Campuhan College. Di sana mereka kuperkenalkan dengan Miss Linda yang menjadi volunteer dan komandan dalam Children and Youth Programme ini bareng mas Pandu yang asli Bali.
“Umi pergi dulu ke panel yang ada di gedung-gedung seberang sini ya. Nanti setelah selesai, umi jemput kalian,” pamitku.
“Oke,” mereka dengan wajah ceria siap bermain sambil belajar serta dapat pengalaman baru kali ini. Melihat ada seorang anak laki-laki bermata sipit yang kelihatannya dari Jepang, mereka senang. Ternyata selain anak-anak bule itu ada juga anak lain.
Sesi pertama hari itu dengan tema The mermaid and her dolphin protectors.

Sementara itu aku ikut sesi dengan tema “Voices of south east Asia”

Aku dan anak-anak bertemu usai sesi untuk sama-sama makan lontong tahu dekat Campuhan College.

“Wah banyak orang  bule ya,” komentar anakku sembari menyantap lontong tahu.
“Iya. Memang ini ajang Internasional,” kuterangkan padanya dari mana saja orang-orang ini.
Bertemu dengan berbagai macam orang dari banyak Negara mengajarkan anak-anak bahwa kita semua ini sama. Manusia di dunia yang sama. Rasa-rasanya aku seperti Pramoedya Ananta Tour yang memberi pelajaran humanity atau kemanusiaan pada mereka berdua. ( *senyum. )

Jadi saya ceritakan pada mereka juga bahwa sebagian orang Bali ini dulunya nenek moyang mereka adalah pelarian dari Jawa. Saat majapahit runtuh dan mereka tidak mau meninggalkan kepercayaan nenek moyang mereka. Jadi kemungkinan sebagian mereka masih memiliki pertalian darah dengan kita, orang-orang Jawa.

**

Ke Indus Resto, langkahku melaju untuk mengikuti panel Out to Sea. Ceritanya selama dua belas tahun tahun, tidak ada agen yang mau menerima buku pertamanya, The Legend Of Suicide, jadi ia pergi ke laut dan menjadi kapten dan pembangun kapal. Dari hari-harinya di laut ke penulis yang diakui dunia internasional - Jennifer Byrne berbicara dengan David Vann tentang sejarahnya, Ikan besar dan semua.
David Vann adalah seorang penulis buku laris internasional yang diterbitkan dalam 19 bahasa. Dia adalah pemenang 14 hadiah, termasuk Perancis Prix Medicis Etranger, Spanyol Premi Llibreter, yang Paley Prize Grace, seorang Book Award California, yang nonfiksi Prize AWP, dan hadiah L'Express pembaca Perancis.



Buku-bukunya (Legend of Suicide a; Pulau Caribou, Dirt, Kambing Gunung; Mile A Down dan Hari Terakhir di Bumi) telah muncul di 70 Buku Terbaik dari daftar Tahun di sejumlah negara. Dia telah menulis untuk Atlantic Monthly, Esquire, luar, Kesehatan Pria, Journal Pria, The Sunday Times, The Observer, The Guardian, The Sunday Telegraph, The Financial Times, Elle Inggris, Esquire Inggris, Esquire Rusia, National Geographic Adventure, Writer Digest, McSweeney dan majalah dan surat kabar lainnya.
Seorang mantan Guggenheim Fellow, Wallace Stegner Fellow, dan National Endowment untuk sesama Arts, ia adalah seorang profesor di University of Warwick di Inggris.
Dia tinggal di Selandia Baru, Inggris, dan Turki.

Yang menjadi host/chair panelnya juga seorang penulis keren. Namanya Jennifer Byrne. Memulai awal karirnya dalam jurnalisme , sebagai kadet dengan The Age di Melbourne . Dia mencakup semua putaran utama sebagai bagian dari pelatihan , tapi menjadi seorang spesialis dalam lingkungan dan perencanaan , seorang penulis feature dan editorial dan co - editor dari Review Bulanan , majalah sastra bulanan surat kabar . Pada usia 23 , ia telah diposting ke San Francisco sebagai koresponden Pantai Barat .
Jennifer mengambil cuti untuk bekerja di Fleet Street , menulis untuk berbagai publikasi mulai dari Sunday Times untuk Majalah massal sirkulasi Weekend .
Pada tahun 1981 , ia menjadi reporter pendiri dengan Minggu Program Channel Nine , dan lima tahun kemudian pindah ke 60 Minutes . Dia kemudian disajikan di Radio 2BL dan diangkat sebagai direktur penerbitan Reed Books .
Pada tahun 1999 , setelah menghabiskan beberapa tahun sebagai stand-in untuk presenter ABC - TV program-program terkini , Jennifer ditunjuk jangkar di Koresponden Asing dan menghabiskan lima tahun perjalanan sebagai tuan rumah dan reporter . Dia terus menulis fitur dan resensi buku dan host di radio ABC .
Dia bergabung dengan The Bulletin majalah pada tahun 2003 sebagai penulis senior, bekerja pada mingguan 'Lunch Dengan ... ' kolom yang ia memenangkan beberapa penghargaan . Dia kembali ke ABC pada tahun 2006 untuk mengembangkan dan meluncurkan program buku , Pertama Selasa Book Club , yang ia masih host bersama dengan Jennifer Byrne Presents , serangkaian bulanan spesial sastra dan wawancara .
Jennifer terus bekerja di media cetak , dengan buku kolom bulanan dalam penampilan Mingguan dan teratur Perempuan Australia di surat kabar terkemuka dan majalah perjalanan

Nih, dia David Vann. Tidak hanya cerdas, humoris, spontaneous dan menginspirasi. Tetapi dia juga humble dan ramah.
“Pertama kali datang ke festival ini ya?” tanyanya waktu aku minta foto dan tanda tangan.
“Iya. Supaya ketularan keren kayak David,”  lalu aku pun mengucap terima kasih untuk tanda tangan dan fotonya juga.

**

Setelahnya, aku lari menuju panel “Writing Real People”. Ringkasannya gini nih :
Rather than writing phanyasical conflict, better to choose Inner conflict, what's happened inside, emotional conflict.

Terus lari ke panel The Asian Century

Akhirnya aku bertemu dengan Janet Deneefe, orang yang ada di balik kemeriahan pesta ini semua. Yang membuatku bergetar adalah nama kami memiliki unsure yang sama. Dian Nafi dan Deneefe. Wow!
Inginnya sih sekeren beliau ya. Hmm… aku masih harus banyak belajar dan berjuang nih. Tapi mimpi dan cita-cita harus tetap dijaga agar nyalanya tidak padam. Iya kan?
Menurut Janet Deneefe, dia memulai UWRF dengan 27 tempat dan 67 penulis pada tahun 2004. Dan terus diperluas sejak saat itu. Sekarang UWRF memiliki lebih dari 200 program yang diadakan di lebih dari 50 tempat.
Tema UWRF 2013 adalah " Melalui kegelapan menuju cahaya " yang juga merupakan tema yang digunakan selama tahun pertama festival pada tahun 2004 . Deneefe mengatakan bahwa mereka kembali menggunakannya sebagai perayaan ulang tahun ke -10 festival .
Asal tema datang dari judul antologi surat yang ditulis oleh RA Kartini , salah satu pahlawan nasional Indonesia , yang berdiam pada masalah emansipasi dan kesejahteraan masyarakat dalam hidupnya .
"Hal ini untuk menghormati Kartini, tetapi juga menghormati visioner orang-orang yang membuat perbedaan di dunia, " kata Deneefe .
Festival tahun ini dimulai dengan pembukaan gala pada Jumat, 11 Oktober, dan berakhir pada Selasa 15 Oktober. Selama lima hari, peserta menikmati 75 diskusi panel, 13 peluncuran buku, acara khusus 21, 18 lokakarya sastra, 11 program seni, 8 pemutaran film, serta banyak anak-anak dan program pemuda .
UWRF adalah lebih dari sebuah perayaan budaya dari sebuah pertemuan sastra hanya di mana buku adalah satu-satunya fokus acara , terbukti dari berbagai peristiwa dan berbagai topik yang dibahas .
Bahkan ada  pertanyaan "Apakah Anda berpikir bahwa ekstremis telah mengambil alih kurikulum pendidikan di Indonesia?" ditanyakan oleh orang-orang mengambil bagian dalam salah satu sesi panel tentang politik di Indonesia .
UWRF juga mengadakan menyenangkan dan sesi pendidikan dalam bentuk workshop mengajar peserta tentang puisi, bercerita, menulis novel menulis perjalanan, menggambar, menulis lagu, lukisan batik, fotografi dan bahkan music rap .

**

CHILDREN: MURAL COLLABORATION.

Anak-anak kembali ke Campuhan College untuk Sesi Mural Collaboration. Selama tiga jam mereka bermain-main dengan pensil, kertas dan cat. Si sulung senang sekali karena mendapat komplimen dan pujian dari sang mentor yang merupakan seniman dari Australia. Lukisannya dianggap paling bagus di antara teman-teman lain yang kebanyakan anak-anak bule. Si bungsu juga terlihat menikmati sesi ini.
“Get compliment from their mentor make kids so happy today,” ujarku pada mentornya.
Dia memuji si sulung dan  mendorongku untuk menumbuhkan potensinya ini. Bahkan sang mentor meminta alamat emailku dan berjanji akan mengirimkan foto hasil akhir Mural Collaboration hari ini.



Sementara anak-anak menyelesaikan sisa harinya, aku bergegas ke panel / sesi “ The Vulnerability Of An Idea”
Perjalanan belum komplit kalau kita tidak merambah semua tempat yang disediakan. Iya kan? Jadi aku dan anak-anak pergi ke Taman Baca yang berada paling ujung di lokasi venue utama Jl. Campuhan. Di sana ketemu teman-teman peserta UWRF juga yang sama-sama dari Indonesia. Ketemu teman-teman yang tadinya hanya jumpa via dunia maya. Kamipun berpelukan. Bahasa apa yang lebih indah daripadanya? Kita sering mengira sebuah pertemuan akan sulit tapi smua cair hanya dalam sebuah pelukan tulus.
Di lorong antara stan-stan dalam taman baca, aku bertemu Mr. John Mc Glyn lagi. Dulu pernah ketemu di hotel Ambarukmo Jogja waktu Borobudur Writers dan Culture Festival. Pas pertama kali ketemu dulu memang so excited dan foto-foto bahkan ngobrol-ngobrol panjang. Kebetulan sahabat mayaku penulis Amerika baru saja mengunjungi Mr John di Jakarta untuk keperluan penerbitan, jadi nyambung saja ngobrolnya. Nah pas ketemu lagi dengan Mr John kali ini di Ubud, masih excited sih tapi rasanya  beda sama yang pertama kan? #yomesti

Harusnya saya minta foto bareng lagi ya? Kan evennya beda. Ya tapi gitu deh, menyesal tuh belakangan. Eh pas ketemu lagi di hari terakhir UWRF, kami  ketemu lagi dan aku mengucapkan selamat ulang tahun karena hari itu pas ultahnya, aku lupa minta foto bareng lagi. Hehe. Mungkin artinya itu kami akan ketemu lagi di kesempatan yang lain. Aamiin…
**

Dasar awak bejo alias beruntung. Pas istirahat makan siang aku lihat mbak Kamila Andini jalan sendirian. (Tadi aku mengikuti sesi panelnya yang bicara tentang IBU di Left Bank Museum)
Kusapa dan dia ramah banget. Kebetulan temanku ada yang sekolah S2 di Perancis dan berinteraksi dengan mbak Kamila. Saat kami mengobrol, ayahnya-mas Garin Nugroho- datang dan bergabung.

dian nafi n garin nugroho

Wakrungjo awak durung bejo itu Ayu Utami sdengan nganggur duduk, tapi tab pas dropdanshuttle menuju pengnpn keburu dtg. Oke, masih ada besok. #uwrf

**

Pulang ke bungalow Kabera, kami langsung menyantap nasi goreng istimewa. Sambil menikmati makan sore di teras bungalow, aku dan anak-anak bertukar cerita. Mereka akhirnya bertanya tentang tema UWRF.
Apa sih maksudnya “through darkness to light”?” Tanya si sulung sembari matanya melirik tulisan yang tertera di co-card-ku.
Ya gitu deh, aku jadi sok-sok-an menerangkannya. Tentag filosofinya, ceritanya, tentang Kartini, tentang nabi Muhammad.
Dari gelap menuju terang. Minadzdzulumaati ilannuur. Dari kebodohan menuju kecerdasan. Dari jahiliyah menuju hidayah. Begitulah ringkasnya J
Malam hari menjelang tidur, anak-anak kembali membaca rencana kegiatan untuk besok. Kami saling bercerita lagi dan juga menulis keseruan yang kami alami seharian tadi dan kemarin.
Dan meski baru tengah malam aku bisa memicingkan mata, mesin menulis ataukah mesin tahajud ataukah mesin kontemplasi membangunkanku dini hari. Jika Dia membangunkan kita, maka tak ayal lagi kita musti memenuhi panggilanNya. Iya kan? Jangan buat Dia kecewa. Karena ini caraNya mengajak kita bicara. Karena kalau kita abaikan, bisa-bisa kita tidak diingatkan, tidak dipanggil dan diajak lagi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi