#ngemil baca Fira Dan Hafez

#ngemil baca Fira Dan Hafez


Sama-sama memoar dan sama-sama ditulis dalam bahasa lugas dan bahasa keseharian, ternyata hasilnya beda banget lho. Contohnya ya tulisan mbak Fira Basuki ini, dibanding dengan tulisan bu NH Dini yang kuulas dalam postingan sebelum ini.

Kemungkinan usia, kebijaksanaan dan juga milestone punya pengaruh besar dalam hal ini. Kelihatan sekali 'keakuan' mbak Firbas dalam tulisannya, dan ini mau tak mau membuat pembaca sedikit jengah. Sedangkan meski sama-sama menceritakan dirinya, tapi bu NH Dini lebih 'down to earth'.
Terlalu banyak kata 'saya' di tulisan mbak Firbas, sedangkan bu NH Dini mengemukakannya dalam keterpaduan cerita yang tidak menjemukan, banyak menceritakan sekitarnya, baik lingkungan maupun orang-orang yang berkaitan dengan dirinya.
Sehingga lebih banyak persepsi dari sudut pandang 'saya'nya mbak Firbas, sedang bu NH Dini dengan bijak menampilkan apa adanya sesuatu.

Jadi ingat cuitan akun baru yang cukup kritis di twitter, kalau yang ini berkaitan dengan agama, but relevan juga sih dengan bagaimana kita memandang dunia dan kehidupan.
Wahyu itu ontologis, eksistensial dan objektif. Persepsi anda tentang wahyu adalah epistemologis, esensial dan subjektif.

btw, di bab-bab belakangnya ketika kemudian cerita tentang Hafez mengemuka, mau tak mau memang air mata menitik. teringat suamiku sendiri yang juga wafat kecelakaan. bagaimana keduanya (suami mbak firbas maupun suamiku alm) adalah sedikit dari pria yang sangat penyayang, asih, dan punya sesuatu yang tidak dimiliki lelaki kebanyakan.

mbak firbas pastilah menuliskan dengan sepenuh perasaan dan emosinya sehingga tulisan itu juga menyentuh emosi pembacanya.
buku ini memperlihatkan pada kita, bahwa cinta itu ada, dan bukan cuma utopia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi