sudah Benarkah Syahadat kita

Setiap muslim seyogyanya mengerti dan memiliki kepedulian terhadap perkara agamanya. Terlebih tatkala dia hidup di jaman yang jauh dari kenabian Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam dan semakin dekat dengan hari kiamat. Dia hidup di tengah kebodohan yang telah menyebar sedangkan ilmu agama yang benar semakin pudar dengan meninggalnya para ulama.

Di antara perkara yang harus dimengerti tersebut adalah dua kalimat syahadat, sebuah perkara yang Allah dan rasul-Nya jadikan sebagai rukun terpenting dari rukun-rukun Islam, dinding pembatas antara iman dan kekufuran, halal atau haramnya darah dan harta seseorang untuk ditumpahkan dan diambil. Bahkan sebagai faktor penentu seseorang menjadi penghuni Jannah atau Naar.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Hanyalah orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al Hujuraat : 15).

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda :

“Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah…” (H. R. Muslim).

Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalam juga bersabda :

“Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka telah melakukannya maka mereka telah menjaga darah dan hartanya dariku kecuali dengan haknya, sedangkan hisab mereka di sisi Allah.” (Muttafaqun ‘Alaihi).

Memang, dua kalimat syahadat merupakan sebuah persaksian seorang muslim tentang hak Allah dan rasul-Nya. Namun, hendaklah dia ketahui bahwa persaksian itu tidaklah cukup dengan ucapan lisannya saja, walaupun dia fasih dalam mengucapkannya. Tetapi ia juga sangat membutuhkan pengetahuan dan amalan tentang makna dan kandungannya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri banyak menyebutkan tentang makna dan kandungan syahadat Laa Ilaaha Illallah di dalam kitab-Nya yang suci. Di antaranya Allah ceritakan tentang kisah antara nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam dengan kaumnya :

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ لأَبِيْهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَآءٌ مِمَّا تَعْبُدُوْنَ إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِيْنِ وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Dan ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah kecuali Dzat yang telah menciptakanku, Dialah yang benar-benar menunjukiku, dan Dia (Allah) yang telah menjadikan sikap berlepas diri dan loyalitasnya tersebut sebagai kalimat yang selalu ada pada keturunannya (Ibrahim) agar mereka kembali kepada tauhid.” (Az Zukhruf : 26-28).

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat tersebut: “Yaitu Allah telah menjadikan sikap loyalitas kepada-Nya dan berlepas diri dari setiap sesembahan selain-Nya sebagai kalimat yang selalu ada pada keturunannya (Ibrahim). Para nabi dan pengikut mereka akan saling mewarisi kalimat tersebut. Ia adalah Laa Ilaaha Illallah yang telah diwariskan oleh imam para Ahlut Tauhid yaitu Ibrahim kepada para pengikutnya sampai hari kiamat.”

Penggalan ayat إِنَّنِي بَرَآءٌ مِمَّا تَعْبُدُوْنَ sesuai dengan lafadz syahadat “Laa Ilaaha” yang mengandung arti peniadaan atas segala sesuatu sebagai sesembahan. Sedangkan ayat إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي selaras dengan lafadz syahadat: “Illallah” yang mengandung penetapan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu-satunya sesembahan yang berhak untuk diibadahi. Kesimpulannya bahwa makna sekaligus kandungan yang sebenarnya tentang syahadat “Laa Ilaaha Illallah” adalah tiada sesembahan yang berhak untuk diibadahi melainkan Allah saja.

Uniknya makna yang sah dari tinjauan syar’i maupun bahasa Arab tersebut sangat dipahami dan diketahui orang-orang musyrikin di jaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, akan tetapi sifat sombong dan gengsi dengan agama nenek moyang mereka menjadi faktor penghalang untuk menerima seruan dakwah Laa Ilaaha Illallah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَسْتَكْبِرُوْنَ

“Sesungguhnya bila dikatakan kepada mereka Laa Ilaaha Illallah, mereka menyombongkan diri.” (Ash Shaffaat: 35).

Berdasar tinjauan makna dan kandungan Laa Ilaaha Illallah yang sedemikian rupa maka sangatlah tidak tepat bila ada sebagian orang yang memberikan makna syahadat tersebut dengan berbagai makna misalnya:

“Tidak ada pencipta, pengatur, dan pemberi rizki kecuali Allah.”

“Tidak ada Tuhan kecuali Allah.”

Atau yang lebih tragis lagi bila seorang yang bersedia dianggap sebagai “cendekiawan muslim” memberikan makna yang nyeleneh: “Tidak ada tuhan kecuali Tuhan.”

Subhanallah !! Semua pendapat yang semata-mata dari akal pikiran dan jauh dari petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah di atas, sesungguhnya masih meninggalkan adanya kemungkinan pengakuan terhadap sesembahan selain Allah.

Tidaklah mengherankan akibat kesalahan di dalam memahami makna dan kandungan syahadat Laa Ilaaha Illallah, banyak di antara kaum muslimin yang terjatuh ke dalam berbagai bentuk kesyirikan yang sebenarnya pernah, atau bahkan belum pernah dipraktekkan kaum musyrikin jahiliyyah meskipun mereka mengucapkan syahadat di dalam dzikir, shalat dan do’a mereka. Wallahul Musta’an.

Para pembaca yang mulia, manakala seseorang telah mengerti dan meyakini bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja maka dia tidak akan mampu mengetahui cara dan bentuk ibadah yang akan dia persembahkan kepada-Nya kecuali hanya dengan petunjuk utusan-Nya yaitu Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam. Di sinilah letak pentingnya mengetahui makna dan kandungan syahadat rasul Muhammadur- rasulullah terlebih dahulu sebelum berbicara tentang syari’at dan sunnah-sunnahnya.

Tidaklah sah dan diterima syahadat Laa Ilaaha Illallah tanpa adanya syahadat ini.

Sangatlah banyak dalil-dalil baik dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan makna syahadat ini yang pada akhirnya para ulama menyebutkannya secara ringkas sebagai berikut:

Mentaati Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasalam dalam apa yang beliau perintahkan.

Membenarkan segala apa yang beliau beritakan.

Menjauhi apa yang beliau larang.

1. Tidaklah Allah diibadahi melainkan dengan apa yang Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasalam tersebut ajarkan.

2. Bahwa Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam adalah seorang rasul yang tidak boleh didustai sekaligus sebagai seorang hamba yang tidak boleh diibadahi.

Oleh karena itu seseorang yang mengaku cinta dan sebagai pengikut Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasalam tidaklah pantas untuk mendahulukan ucapan seorang guru, ustadz ataupun kyainya daripada ucapan Rasul tersebut. Tidaklah layak seorang yang telah bersyahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah untuk menolak atau ragu terhadap sebuah hadits karena – menurut anggapan dia – tidak sesuai dengan perkembangan jaman, penelitian para ilmuwan atau akal pikirannya. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasalam atau syahadat Muhamadurrasulullah.

Syarat Kesempurnaan Persaksian Dua Kalimat Syahadat

Kedua syahadat ini sebagaimana rukun Islam yang lainnya memiliki beberapa syarat yang seseorang tidak akan mendapatkan manfaat dengan persaksiannya kecuali menyempurnakan dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya.

Alhamdulillah, Allah telah mudahkan kita untuk mengetahuinya melalui para ulama – semoga Allah merahmati kita dan mereka semuanya. Mereka (para ulama) telah kumpulkan beberapa syarat yakni:

1. Al Ilmu, yaitu mengetahui tentang kandungan dan konsekuensi dua kalimat syahadat dengan ilmu yang benar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): “Kecuali orang-orang yang bersaksi kebenaran (Laa Ilaaha Illallah) dalam keadaan mereka berilmu.” (Az Zukhruf : 86).

2. Al Yaqin, yaitu keyakinan yang mantap tentang konsekuensi dari dua kalimat syahadat tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): “Hanyalah orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian tidak ragu (dengan keimanannya).” (Al Hujuraat : 15).

3. Al Qabul, yaitu menerima kandungan dua kalimat syahadat dengan hati dan mengikrarkan dengan lisannya. Dalilnya adalah setiap firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memberitakan tentang keselamatan dan keutamaan bagi siapa saja yang menerima Laa Ilaaha Illallah. Sebaliknya kecelakaan dan adzab bagi siapa saja yang menolak kalimat agung tersebut.

4. Al Inqiyad, yakni tunduk terhadap kandungan dan makna dua kalimat syahadat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): “Dan barangsiapa yang menundukkan wajahnya kepada Allah dan berbuat baik maka dia telah berpegang teguh dengan tali yang kuat (Laa Ilaaha Illallah).” (Luqman : 22).

5. Ash Shidq, adalah jujur di dalam mengikrarkannya baik dengan lisan maupun hatinya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda: “Tidaklah seseorang yang bersaksi Laa Ilaaha Illallah wa anna Muhammadar-rasulullah dengan jujur dari hatinya kecuali Allah haramkan Naar baginya.” (Muttafaqun ‘Alaihi).

6. Al Ikhlas, maknanya membersihkan amalan dengan niat yang benar dan bersih dari noda-noda kesyirikan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan (Naar) bagi seseorang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dalam keadaan dia mengharap wajah Allah ‘Azza Wa Jalla (ikhlas).” (Muttafaqun ‘Alaihi).

7. Al Mahabbah, artinya mencintai dua kalimat syahadat ini, kandungannya dan orang-orang yang berpegang teguh dengan dua kalimat syahadat tersebut. Sebaliknya membenci terhadap siapa saja yang menentang dan menolak dua kalimat syahadat. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda: “Tiga perkara yang barangsiapa memilikinya maka dia akan mendapatkan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan darinya sebagaimana ia benci apabila dilemparkan ke dalam api.” (Muttafaqun ‘Alaihi).

Wallahu Ta'ala A’lam Bish Shawab ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi