Menulis Cara Menyuarakan Banyak Hal
Dian Nafi menasbihkan dirinya sebagai pecinta purnama dan
penikmat hujan. Lulusan arsitektur Undip Semarang ini, selain menulis
juga mengelola PAUD, aktif di komunitas Hasfriend, dan Pimpinan Redaksi
DeMagz. Tulisannya bertebaran di berbagai media cetak, dan acap
memenangkan berbagai perlombaan penulisan. Ikuti bincang-bincang
AlineaTV dengan penulis yang sudah menelurkan 14 buku ini.
Apa artinya menulis buat kamu?
Menulis mula-mulanya menjadi terapi, dari kesedihan kehilangan pasangan
saat itu dan kehilangan banyak hal setelahnya, dari trauma masa lalu,
dll. Kemudian lambat laun bergerak menjadi sebuah cara untuk menyuarakan
banyak hal. Suara hati, suara lingkungan, dan suara dari teman-teman,
saudara, atau kenalan yang akhirnya berdatangan curhat.
Sedekat apa masa kecil kamu dengan dunia menulis?
Almarhum ayah rajin membawakan kami
banyak buku dan komik. Saya mendapat
hadiah diari darinya di ultah saya yang kedelapan, beliau mengajarkan
saya menulis buku harian. Sejak itu saya banyak menulis meski masih
untuk konsumsi sendiri. Kelas empat SD saya dikirim mewakili sekolah
untuk lomba menulis resensi tingkat kabupaten dan menang. Selanjutnya
saya terus menulis tapi hanya untuk konsumsi sekitaran, jadi redaksi
mading dan juga majalah almamater di SMP, SMA dan kampus.
Sejak kapan mulai menulis secara profesional?
Sejak 2010. Semua bermula saat saya harus
iddah atau tinggal
dalam rumah selama 4 bulan 10 hari karena suami meninggal awal tahun
2008. Di saat banyak waktu luang itulah saya bersentuhan dengan Facebook
dan menuliskan banyak curhatan di sana. Lalu ikutan lomba-lomba menulis
dan beberapa kali menang. Tulisan mulai diterbitkan dalam bentuk
antologi sejak 2009. Semakin lama makin keranjingan ikut kompetisi
menulis. Dari beberapa kali menang, akhirnya saya mulai mendapat tawaran
menulis buku solo dari beberapa penerbit. Begitu seterusnya.
Bagaimana cara mengatur waktu menulis dan proses mencari ide-ide kreatif?
Biasanya saya menulis dari jam tujuh pagi sampai dua belas siang. Lanjut
lagi jam satu sampai tiga sore. Malam nulis lagi jam sembilan sampai
jam sebelas. Lanjut dini hari mulai jam dua sampai subuh. Tapi
menulisnya ini selang seling dengan membaca. Sebulan saya biasanya
membaca 5-12 buku. Ide kreatif saya dapatkan dari banyak mengamati yang
terjadi di sekitar, dari beberapa kegiatan yang saya ikuti, dari
peristiwa-peristiwa yang saya lihat langsung ataupun saya dapatkan dari
curhatan teman-teman, saudara-saudara maupun orang-orang baru yang saya
temui selama
traveling dst. Buku-buku bisnis, leadership,
psikologi, parenting, dan non-fiksi lainnya serta buku biografi
seringkali juga menjadi sumber ide kreatif yang mendukung cerita-cerita
yang embrionya sudah ada dalam kepala.
Menurut kamu, apa yang membedakan karya-karya kamu dengan penulis lain?
Background saya yang santri tetapi kuliah di teknik arsitektur mewarnai tulisan saya yang kadang paradoksal.
Between freedom dan puritan,
between modern dan tradisional,
between setia pada tradisi dan suka melanglang ke mana-mana.
Apakah kamu mengalami kesulitan yang berarti saat mulai membuat karya?
Ide sangat banyak, tetapi seringkali kesulitan dan kedodoran dalam
eksekusi. Ini yang masih saya terus pelajari dan latih. Bagaimana supaya
tidak ada
hole plot, bagaimana supaya lebih mengalir,
bagaimana membuat tulisan yang bisa ‘menyihir’ pembaca tetapi sekaligus
‘diam-diam’ menginspirasi dan memberi pencerahan, itu yang selalu
menjadi PR saya. Kepenasaran ini membuat saya semakin ‘larut’ dalam
dunia kepenulisan. Seperti sebuah tantangan yang minta ditaklukkan.
Dari semua karya yang sudah diterbitkan oleh penerbit, buku apa yang paling berkesan saat merampungkannya?
Novel debut saya,
Mayasmara, yang saya tulis bersama sahabat
maya, butuh delapan bulan proses penulisannya tanpa bekal ilmu menulis
sebelumnya. Saya hampir menyerah karena tidak tahu bagaimana
menyelesaikannya. Tapi
brainstorming yang intens akhirnya membawa kami sampai akhir.
The Invisible Hand memberikan ‘wangsit’ sub-judul bagi novel ini. Saya mengalami banyak
transcendence
dalam prosesnya. Dan terkesan dengan ‘pesan’ Pak Ahmad Tohari pada saya
usai membaca novel ini, agar saya terus menulis novel sejenis itu yang
beliau sebut sebagai novel eksistensialis. Meski dalam perjalanannya
kemudian saya menulis novel jenis lain, tapi masih terus terbayang pesan
itu dan keinginan mewujudkan pesan beliau.
Tips menulis versi Dian Nafi?
Stimulasi diri sendiri dengan ikut banyak lomba, karena dari sana ada
tema tertentu yang mendorong kita mencari dan menemukan cerita yang
sesuai. Sembari menulis, banyak membaca buku berkaitan, sekaligus
membaca tips-teknik menulis dan mengikuti workshop kepenulisan, sambil
brainstorming
bareng mentor dan sharing. Karena dengan sharing ilmu yang sudah kita
ketahui, biasanya kita dianugerahi ilmu baru. Banyak jalan-jalan juga
membantu kita menghadapi
‘writer-block’.
Apa pengalaman penyenangkan selama menjadi penulis buku?
Jadi sering jalan-jalan untuk riset ataupun
event kepenulisan. Ketemu banyak orang baru baik via
online atau ketemuan darat saat
event launching/bedah buku/
sharing maupun
event
lain. Menerima testimoni darpi pembaca via mention, inbox, email dan
sms juga mengguratkan kesan tersendiri. Utamanya senang karena bisa bisa
berbagi manfaat.
Target besar yang ingin kamu lakukan dalam dunia menulis?
Saya punya cita-cita suatu saat cerita-cerita yang saya tulis difilmkan.
Pingin juga bisa keliling dunia dari menulis, dapat beasiswa kuliah
creative writing dan ikut
writing retreat/residence
di luar negeri kayak mas Ahmad Fuadi/Asma Nadia dll. Terus pingin
mendirikan Hasfa Writing College juga. Haha, banyak banget ya
keinginannya?
[Anggi Septianto/Redaksi
AlineaTV]
sumber : http://www.alineatv.com/2014/10/dian-nafi-menulis-cara-menyuarakan-banyak-hal/
0 Komentar