KAU
GADAIKAN MOTORKU
Cerpen Oleh :
Dian Nafi
Aku hampir menjerit ngeri melihat perubahan raut
wajahnya. Matanya melotot marah, seakan hampir lepas dari rongganya. Terus
terang aku tidak pernah melihat mas Faisal seberang ini. Kudekap anak perempuan
mungilku demi meredakan amarahnya.
Dan sepertinya cukup berhasil. Mas Faisal menarik
nafas panjang dan perlahan mengendurkan semua urat sarafnya yang tegang
beberapa menit tadi. Bisa kurasakan debar keras dalam dadaku pun turut mereda
seiring mas Faisal menyandarkan punggungnya ke sofa ruang tamu kami.
“Saya pergi mengajar dulu, mas,” pamitku
cepat-cepat mumpung dia dalam keadaan gencatan senjata.
“Hm..”
Hanya dehem kecil dengan serak sisa kemarahan
terdengar lewat bibirnya yang semakin menghitam sebab semakin sering merokok.
Jemari tangannya memberi isyarat padaku supaya
pergi cepat dari hadapannya sembari matanya tertutup rapat. Aku beringsut pelan
mendekatinya masih dengan anak perempuanku di gendongan. Kucium penuh takdim
punggung tangan mas Faisal sembari hatiku membisikkan permintaan maaf. Karena
jika kusuarakan, pastilah yang kudapatkan justru guntur yang lebih hebat.
Dia mengibaskan tanganku dengan segan. Tapi aku
tak kuasa marah, tak mampu sakit hati. Hanya perih, pedih. Bisa kurasakan
betapa mas Faisal menahan sendiri kemarahannya yang besar kepadaku. Sesuatu
yang aku sendiri mungkin tidak bisa melakukannya. Tetapi ya, kuakui, mas Faisal
adalah salah satu lelaki hebat itu. Yang tidak kuasa menyakiti wanita, terlebih
lagi padaku, istrinya.
Kutinggalkan rumah dengan hati yang rusuh. Anak
perempuanku masih pulas tidur dalam pelukanku. Langkahku terayun gontai menuju
kompleks pesantren mertuaku. Pagi ini aku terpaksa datang sendiri mengajar ke
PAUD yang kurintis bersama mas Faisal karena salah satu guru yang kami tunjuk
berhalangan hadir.
**
“Mbak Alin sakitkah? Kok pucat banget?” tegur bu
Dani, salah satu guru lain.
Memang di kelas, meski aku berusaha
bersenang-senang dengan anak-anak didikku, tetapi sebenarnya hatiku masih
terpancang pada kemarahan mas Faisal.
“Memang agak pusing,” aku berusaha menghindar
dari pertanyaan lebih jauh lagi. Tak boleh seorangpun tahu masalah kami
bagaimanapun beratnya.
“Istirahat saja, mbak. Saya yang lanjutkan ya?
Biar dua kelas saya gabung,” bu Dani menawarkan diri dan aku mengangguk.
Kuangkat anak perempuanku yang tadi ikut asyik
bermain dengan anak-anak PAUD lainnya. Dan kubawa ke rumah ibu mertua yang ada
dekat lokasi madrasah.
“Faisal sudah berangkat kerja?” ibu mertua
menyambutku di terasnya dengan pertanyaan yang sudah kuduga sebelumnya.
Anak
perempuanku mencium tangan neneknya dengan tergesa lalu membrosot dari
gendonganku dan dengan langkah-langkah kecilnya masuk ke dalam rumah. Disambut
oleh mbak pondok yang sedang piket.
“Tadi belum, bu,” kutekan nada suaraku agar tidak
mencurigakan, sembari mencium punggung tangan mertuaku.
“Oh, pantesan. Biasanya dia selalu ke sini dan
pamit aku dulu tiap kali berangkat kerja,” kalimat ibu mertua ini sudah kuhafal
betul.
Dan memang itulah salah satu kelebihan mas
Faisal. Dia sangat sayang dan menghormati ibunya. Dan seperti itulah dia
mengajarkan padaku tanpa kata, sehingga dengan sendirinya aku menghormati dan
mencintai ibu mertuaku seperti mencintai ibuku sendiri.
Dari ujung gang terlihat motor mas Faisal
mendekat ke teras tempat aku dan ibu
mertua mengobrol di atas lincak.
“Mi, saya nanti mungkin nggak pulang rumah.
Mungkin lembur,” pamit mas Faisal pada ibunya sembari mencium takdim tangan
ibunya.
Glek! Kutelan ludahku, serasa ada yang tercekat
di tenggorokanku. Apakah ini masih terkait dengan kemarahannya barusan pagi
ini.
“Kok lembur-lembur segala kenapa? Kalau tidak
perlu dilembur mbok yo ora usah lembur, kasihan istri anakmu ki lho kalau di rumah
sendirian,” ibu mertua yang juga mengasihiku seperti anaknya sendiri, memeluk
bahuku.
Tapi kangmas Faisal-ku bahkan tidak menatap wajah
dan mataku sama sekali. Masih bisa kurasakan kemarahan itu, tapi dia tidak tega
menyakitiku, betapa pedihnya menahan perasaan yang semacam ini.
“Yo wis, yo wis. Kalau memang harus lembur yo ora
opo-opo. Nanti malam kamu sama anakmu tidur di sini saja kalau begitu,” tukas
ibu mertua cepat demi melihat mas Faisal tidak merespon pertanyaannya.
Ah, ibu mertua yang sungguh pandai membaca
gelagat dan bahasa tubuh anak bungsunya. Aku merasa terberkati berada di antara
kedua orang yang kasih mengasihi ini. Namun juga sekaligus waspada. Jangan
sampai karena ketidakpekaanku atas kehalusan budi dan kepandaian menahan emosi
yang mereka miliki, aku jadi mendapat boomerang.
**
“Nggak di situ ya? Aduh jadi di mana nih?” dengan
gusar kututup telpon.
Aku tidak mau menginap lagi di rumah mertua
setelah kemarin sudah bermalam di sana. Kupikir mas Faisal malam ini pulang dan
tidak lembur lagi. kutelpon beberapa temannya untuk mengetahui keberadaannya
tetapi hasilnya nihil. Setelah lelah semalaman mencoba mencari ke mana-mana dan
tidak juga berhasil, akhirnya aku kelelahan dan tertidur.
Pagi hari saat terbangun, langsung mencoba
menghubungi nomornya lagi seusai sholat subuh. Masih tidak aktif. Menghubungi
teman-temannya lagi, masih tidak terlacak. Aku semakin resah, tapi tidak ingin
membuat ibu mertuaku turut gelisah. Jadi aku bertahan di dalam rumah.
Baru agak siang kemudian baru kulihat lagi wajah
mas Faisal yang kurindukan, kusut dan layu.
“Mas dari mana saja. Semalaman kucari-cari,”
berondongku dengan gaya khas istri pencemas dan rewel.
“Kamu masih peduli tho sama aku? Aku pikir aku
sudah tidak penting lagi,” ketus jawabannya, tapi tak menembus hatiku yang
penuh rasa sesalan dan dibuntal kerinduan juga cemas semalaman.
“Oh ya, motormu kugadaikan,” dengan nada tidak
merasa bersalah sedikitpun mas Faisal menyampaikan berita tidak mengenakkan.
“Hah? Kok pakai menggadaikan motor,” aku melirik
ke teras dan baru sadar bahwa dia tadi pulang dengan tidak mengendarai sepeda
motornya sendiri.
Entah dengan siapa tadi dia sampai ke rumah.
“Pilihannya cuma itu. Aku kemarin nembung pinjam
uang kamu buat nutup material, tidak kamu kasih. Jadi terpaksa motor kutitipkan
teman selagi aku belum bisa membayar material yang kuangkut ke proyek,”
jelasnya setelah menyruput teh tubruk yang kusiapkan sejak pagi seperti
biasanya.
“Sampai kapan?” sahutku cepat.
“Ya, sampai terminnya turun dan aku bisa bayar.
Wis, aku kesel, ngantuk,” lalu tanpa mandi ataupun berganti baju, mas Faisal
meninggalkanku yang masih ternganga.
**
“Ini motormu.”
Aku kali ini dibuat ternganga lagi karena
malamnya mas Faisal sudah datang dengan motor pemberian ibuku lagi. Yang tadi
sesiang masih kusesali kenapa sampai digadaikan.
“Lho kok sudah bisa diambil? Kata mas
tadi….”
Belum lagi kuselesaikan kalimatku, mas Faisal
sudah menyambarnya, “ aku ora tego awakmu, nduk. Tadi aku ngobrol lagi sama
temanku dan dia melepaskan agunan ini. Diriku jaminannya.”
Ada getar kurasakan dari nada suaranya yang
membuat air mataku menitik.
Tidak perlu menunggu ijin, aku menghambur ke
dalam pelukannya. Membenamkan wajahku ke dalam dadanya yang bidang dan luas,
seluas kesabarannya akanku, istri yang tak pernah dia sakiti seberapa pahitpun
kadang aku memperlakukannya.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
cerita yang cukup menggugah, sampai bawa diri untuk dijaminkan :)
BalasHapusterima kasih Fajrin :)
HapusHmm... masih penasaran dengan alasan Mas Faisal yang marah. Karena tidak dikasih uang sama istrinya untuk nutup material? Hihihi... *pembaca yg lemot* :D
BalasHapusiya, betul memang begitu, mbak Nia :D
Hapus